Latar Belakang Masalah.
Gerakan reformasi yang digulirkan mahasiswa dengan jatuhnya rejim Soeharto bertujuan untuk menata ulang kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan reformasi diharapkan menjadi jalan bagi penyelesaian permasalahan bangsa yang dihadapi dan menjadi harapan bagi masyarakat sebagai momentum untuk menemukan cara baru dalam mendesain jalannya roda pemerintahan, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Gerakan Reformasi menuntut adanya perubahan struktur, kultur dan paradigma penyelenggaraan pemerintahan terutama birokrasinya. Hal ini merupakan kebutuhan mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi pemerintahan mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang terjadi selama ini.
Pemerintahan reformasi yang ada selama ini dinilai kurang responsif dan tidak peka terhadap tuntutan perubahan, aspirasi dan dinamika yang terjadi dimasyarakat, belum mampu mengantarkan bangsa keluar dari himpitin krisis serta belum mampu menghasilkan perbaikan kehidupan yang berarti. Perebutan kekuasaan antar elit politik lebih mewarnai jalannya reformasi dengan adanya pergantian presiden yang begitu cepat tanpa diikuti dengan tindakan nyata kearah perbaikan. Tingkat kepercayaan rakyat pada integritas pemerintahanpun mulai dipertanyakan dan menunjukkan gejala penurunan dengan banyaknya bentuk ekspresi ketidakpuasan rakyat seperti main hakim sendiri, demonstrasi, protes, kecaman, cacimaki terhadap birokasi publik bahkan ada sebagian daerah berkeinginan untuk berpisah dari
Tuntutan dan aspirasi masyarakat yang semakin mengedepan dalam era reformasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan setidaknya meliputi beberapa hal; pertama, reformasi sistem politik yang merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dinafikan untuk menuju kehidupan politik yang lebih demokratis melalui keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam proses politik yang menyangkut kepentingan publik (Lihat Gaffar, 2000, 145-173); kedua, reformasi hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dari pola sentralisasi yang bersifat paternalistik menjadi desentralisasi yang bersifat kemitraan (Lihat Rasyid, 2001, 200); ketiga, tuntutan untuk mewujudkan good governance and clean government dalam penyelenggaraan negara yang didukung dengan prinsip dasar kepastian hukum, akuntabilitas, transparansi, keadilan, profesionalisme dan demokratis seperti yang dikumandangkan oleh World Bank, UNDP, United Nation dan beberapa lembaga international lainnya (lihat Edralin,1997).
Dalam upaya merespon dinamika masyarakat dan berbagai tuntutan tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Keberadaan undang-undang ini memberikan kewenangan yang besar pada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dan menawarkan berbagai kemungkinan untuk diterapkannya paradigma baru dalam menata kembali sistem pemerintahan daerah dan menemukan cara-cara baru dalam menjalankan birokrasi publik dengan efisien, efektif, responsif, transparan dan akuntabel terhadap kebutuhan masyarakat. Daerah dapat mengembangkan kehidupan demokrasi, peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat serta terpeliharanya nilai-nilai nilai-nilai keanekaragaman daerah yang pada akhirnya pemerintah daerah dapat menentukan disain dan model birokrasi publik yang tepat untuk merespon tuntutan, aspirasi dan dinamika yang terjadi dimasyarakat. Kegagalan dalam merespon tuntutan perubahan itu bisa menciptakan sumber konflik baru antara pemerintah dengan masyarakat yang pada akhirnya bisa mengganggu legitimasi dan jalannya roda pemerintahan.
Untuk mendisain dan menentukan model birokrasi yang tepat maka perlu dilakukan perubahan yang mendasar terhadap ‘anatomi’ dan ‘kode genetika’ birokrasi publik di Indonesia agar dapat terwujud birokrasi yang mampu beradaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan strategis yang terjadi. Osborne dan Plastrik (1997,48) mengatakan dengan tegas dan menjadikannya sebagai ……… the first rule of reinvention : No new DNA, No Transformation. Terlebih lagi bagi daerah Kabupaten atau Kota termasuk Kabupaten Bengkalis dalam memasuki era otonomi daerah, yang mengharuskan mereka mandiri untuk mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri ditengah kompetisi global serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan peran birokrasi publik yang sebenarnya. Pemerintah Kabupaten Bengkalis sudah saatnya untuk mereposisi peranannya kembali menjadi birokrasi publik yang memiliki akuntabilitas, responsif, inovatif dan profesional serta berjiwa entreprenuer. Birokrasi Daerah harus semakin kreatif dalam mengemban fungsi pemerintahan modern yakni, ‘pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat’ (Rasyid, 1997, 48). Pola-pola lama dalam kultur birokrasi, kepemimpinan, struktur kelembagaan, manajemen sumber daya manusia dan sebagainya harus diorientasikan kearah pembentukan birokrasi publik yang adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis yang berlangsung cepat dan mengglobal.
Konsep perubahan birokrasi publik pada dasarnya sudah lama (1980-an) dikenalkan oleh para teorisi seperti Hood dan Pollitt, sebagai kritik terhadap kinerja birokrasi lama (model weberian) yang sudah tidak mampu memenuhi harapan masyarakat seiring dengan perubahan lingkungan strategis. Sebagaimana tesis yang dikemukan David Osborne dan Ted Gaebler (1992, 13) bahwa :
Bentuk pemerintahan yang berkembang selama era industri, dengan birokrasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan serta rantai komando, tidak lagi berjalan dengan baik………Mereka (birokrasi pemerintahan) menjadi bengkak, boros dan tidak efektif. Dan ketika dunia mulai berubah, mereka gagal menyesuaikan diri dengan perubahan itu………sama sekali tidak berfungsi dengan baik dalam masyarakat dan perekonomian tahun 1990-an yang cepat berubah, kaya informasi dan padat pengetahuan.
Perubahan birokrasi publik yang diperkenalkan para teorisi tersebut merupakan perubahan birokrasi publik melalui pendekatan NPM (New Public Management) sebagai paradigma baru dalam upaya ‘mentransformasi birokrasi yang kaku, hirarkis, birokratis bentuk adminsitrasi publiknya menjadi suatu birokrasi yang fleksibel dan berorientasi pasar -pengguna jasa / pelanggan- bentuk manajemen publiknya’ (Hughes,1994,1).
Pendekatan NPM ini bila ditarik benang merahnya (Hughes, 1994, Ferlie, et.al, 1996, Osborne dan Gaebler, 1992) menghendaki suatu birokrasi publik yang memiliki kriteria Good Governance dan Enterpreneurial Government dengan kemampuan memacu kompetisi, akuntabilitas, responsip terhadap perubahan, transparan, berpegang pada aturan hukum, mendorong adanya partisipasi pengguna jasa, mementingkan kualitas, efektif dan efisien, mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh pengguna jasa, dan terbangunnya suatu orientasi pada nilai-nilai untuk mewujudkan Good Governance dan Enterpreneurial Government itu sendiri.
Mencermati banyaknya ide, konsep, pendekatan dan paradigma baru tentang reformasi birokrasi maupun penataan ulang penyelenggaraan pemerintahan yang telah dikemukakan para ahli, tetapi sangat jarang diikuti dengan kajian kritis mengenai perilaku, sikap dan persepsi elit birokrasi yang melaksanakan reformasi tersebut. Memang diakui telah terjadi perkembangan diskursus (wacana) mengenai Good Governance dan Enterpreneurial Government dan menjadi perdebatan oleh banyak kalangan, baik para politisi, kalangan akademisi, praktisi pemerintahan maupun masyarakat dengan persepsi dan argumen yang berbeda-beda. Seharusnya elit birokrasi menyikapinya dengan kritis dan konstruktif serta mengadakan reformasi terlebih dahulu terhadap perilaku, mind set maupun budaya serta kompetensi yang harus dimilikinya dalam merespon tuntutan dan dinamika perubahan tersebut.
Penataan ulang, pembaruan, desain ulang, reformasi sektor pemerintahan ataupun manajemen pemerintahan baru, atau apapun namanya (Osborne and Plastrik, 2000) merupakan pekerjaan besar dan menuntut adanya pembaru (inventors, pioneers) yang mempunyai semangat kewirausahaan (entrepreneur) sehingga dapat mentransformasikan sistem dan organisasi birokratis menjadi organisasi yang bersifat wirausaha. Kesadaran, pemahaman dan pengetahuan yang mendalam dari para elit birokrasi mengenai semangat kewirausahaan di sektor publik dalam rangka mereformasi birokrasi harus menjadi agenda yang penting. Pemahaman yang keliru, parsial, tidak holistik dan tidak komprehensip terhadap hal ini akan menyebabkan timbulnya berbagai masalah dan sikap resistensi yang kuat dari elit birokrasi untuk mempertahankan status quo dan anti akan perubahan yang sebenarnya baik bagi masyarakat.
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, betapa penting dan urgennya kesadaran dan pemahaman yang harus dimiliki oleh setiap birokrat untuk mengetahui dan memahami berbagai paradigma penyelenggaraan pemerintah modern dan menjadikannya sebagai landasan berpijak untuk mengadakan reformasi birokrasi pemerintahan disemua tingkatan. Maka penulis menganggap perlunya dilakukan suatu penelitian tentang persepsi dari pejabat birokrasi dalam menerima dan memahami ide serta paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan untuk mereformasi birokrasi dalam menyelenggarakan otonomi daerah untuk mewujudkan Good Governance yang dituangkan ke dalam Tesis dengan judul “Enterpreneurial Government dalam Persepsi Pejabat Birokrasi Pemerintah ( Studi kasus Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis)“
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut dan untuk mengetahui secara komprehensif mengenai persepsi pejabat birokrasi pemerintahan dalam memahami ide Enterpreneurial Government, maka dibuat beberapa pertanyaan penting yang perlu dijawab dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimanakah persepsi pejabat birokrasi Kabupaten Bengkalis terhadap ide Enterpreneurial Government?
2. Faktor-faktor apa yang bisa menjelaskan persepsi pejabat birokrasi Kabupaten Bengkalis dalam menerima ide tersebut?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan masalah penelitian yang dirumuskan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa perspektif pejabat birokrasi pemerintahan kabupaten Bengkalis dalam menerima dan memahami ide Enterpreneurial Government.
b. Untuk memahami faktor-faktor penjelas persepsi pejabat birokrasi Kabupaten Bengkalis dalam menerima ide Enterpreneurial Government.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan masukan dan sumbangan pemikiran yang berarti bagi pemerintah Kabupaten Bengkalis dalam menerima dan memahami ide Enterpreneurial Government dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah
b. Secara akademis diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu pijakan bagi penelitian selanjutnya, terutama yang berhubungan dengan penerapan ide-ide baru dalam penyelenggaraan pemerintahan.
No comments:
Post a Comment