Kami memberi bantuan dengan menyediakan bahan-bahan tesis gratis yang berguna untuk menambah referensi anda dalam penyusunan tesis. Tesis yang kami sediakan yaitu mengenai masalah pemerintahan, pembangunan daerah, kemasyarakatan, serta managemen

Cara bertranksaksi :

1. SMS, judul yang anda pilih pada Daftar Judul Tesis dan alamat email anda untuk pengiriman file

2. kirim/transfer biaya tesis (Rp. 120.000,-*) ke :

3. SMS lagi bahwa anda telah melakukan transfer

4. kemudian kami cek ke rekening dan segera mengirimkan email berisi tesis pesanan anda


Harganya sama halnya bila anda mencopynya dalam bentuk kertas di perpustakaan, tapi kelebihannya kami menyediakan dalam bentuk file word dan pdf, sehingga mempermudah anda dalam membaca di komputer atau di laptop.

Terima kasih telah menjadikan tesis tersebut sebagai bahan referensi bukan sebagai bahan jiplakan. kami tidak mendukung plagiat, bahan tersebut disediakan sebagai referensi dalam penulisan tugas akhir, bila anda merasa keberatan karyanya kami tampilkan dan menjadi bahan referensi bagi para peneliti lainnya, bisa kami hapus dari daftar ini, silahkan hubungi ke alamat email

*biaya tsb hanya sebagai pengganti biaya maintenance weblog, pencarian bahan, operasional pulsa dan connecting internet

Thursday, June 5, 2008

Prospek Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Provinsi Papua Barat

ABSTRAKSI

Perusahaan Listrik Negara (PLN) merupakan lembaga satu-satunya yang diberi kewenangan Pemerintah untuk mengelola penyediaan sarana listrik di Indeonesia, sampai kini belum mampu menyediakan tenaga listrik secara maksimal dan merata di seluruh propinsi. Dalam pengoperasiannya, PLN setiap tahun bahkan mendapat subsidi dariPemerintah, terutama untuk pelayanan di Kawasan Timur Indonesia, belum sebanding biaya operasional yang dikeluarkan dengan penerimaan hasil penjualan listrik dari pelanggan. Khusus di daerah Papua, yang dianggap cukup membebani biaya operasinal salah satunya adalah jangkauan jaringan yang tidak efektif, jarak pelanggan yang saling berjauhan, dengan sistim pemukiman yang tersebar. Selain hal tersebut, penyediaan sarana listrik oleh PLN ini masih didominasi oleh bahan bakar minyak (BBM), halmana dengan harga BBM yang sudah tinggi, ditambah lagi dengan jangkauan lokasi-lokasi pemukimandi pedalaman Papua yang relatif sulit, menyebabkan harga minyak di lokasi kebutuhan biayanya akan melambung. Hal yang sama juga akan terjadi pada pembiayaan
pemeliharaan mesin pembangkit.

Kondisi tersebut akan berdampak terhadap tingginya biaya operasional dan tidak seimbang dengan penerimaan yang diperoleh dari pembelian listrik oleh pelanggan. Hal ini akan mengakibatkan PLN sulit berorientasi pada propit, tetapi lebih bersifat pelayanan, sementara persediaan keuangan negara untuk subsidi pun terbatas, sehingga dari segi kualitas, pemadaman bergilir hampir setiap saat dialami pelanggan/masyarakat, demikian pula dari segi kuantitas, masih banyak daerah yang belum dapat dijangkau oleh jaringan listrik PLN. Publikasi BPS melalui data PODES (Potensi Desa), 2003 tercatat sebanyak 3.287 Kampung di Papua, termasuk Papua Barat yang mendapat jaringan listrik hanya sekitar 29 %, sisanya 71 % entah sampai kapan bisa meperoleh pula kesempatan untuk menikmati listrik sebagai barang publik

Dengan perkembangan inovasi PLTA yang terus berproses, baik dari inovasi teknologi maupun inovasi sistimnya, dan melihat secara umum geografi daerah Papua di wilayah Propinsi Papua Barat, dimana tersedia sumberdaya air yang cukup memadai, maka dimungkinkan Pembangkit Lisrtrik Tenaga Mikrohodro (PLTMH) dapat menjadi solusi terhadap keterbatasan suplai listrik di Pulau Papua, termasuk Papua Barat., baik untuk masa sekarang bahkan masa mendatang. Dari sisi pengelolaan PLTMH, dengan item-item pengoperasian serta pemeliharaannya yang relatif sederhana, maka dimungkinkan pula masyarakat dapat membentuk suatu wadah untuk menangani langsung pengelolaannya. Ini pun setidaknya menjadi akses menciptakan rasa memiliki dari masyarakat dan membangun modal sosial masyarakat.

Seperti diketahui sebegitu besar harapan-harapan yang dinantikan dari program-program yang dicanangkan dan dilaksanakan di Papua, berujung kepada terjadinya perubahan perilaku, dan pada akhirnya peningkatan kesejahteraan masyarakat, terlebih dalam mengejar ketertinggalannya/kesenjangan dari saudara sebagsa dalam bingkai NKRI. Sedemikian juga akan memperkecil peluang terjadinya krisis integrasi bangsa. Suatu ketika, tahun 2001 saat Penulis melakukan survey geologi di salah satu kampung yang terpencil di pedalaman Kepala Burung Papua, Seorang Tete (istilah Kakek/Nenek untuk bahasa Papua) bertanya ” Ana.., kita orang ini masih Indonesia kah ?, kalo begitu yang presiden kitong yang sekarang seperti apakah, yang kitong liat ada gambar itu hanya ada Sukarno lalu yang bapak Suharto itu, lalu .... ada yang lain lagi kah.. ?”. Demikian keterisolasian suatu kampung di Papua sehingga tidak dapat mengakses informasi dengan memadai.

Analisis kelayakan Pembentukan Daerah Kota Tomohon

Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik (local democracy) di pemerintah daerah. Sistem pemerintahan seperti ini memberikan keleluasaan kepada daerah dalam wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah (Koswara, 1998).

Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakt di era reformasi muncul fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk suatu daerah otonom baru baik daerah propinsi maupun kabupaten dan kota. Keinginan seperti itu didasari oleh berbagai dinamika yang terjadi di daerah baik dinamika politik, ekonomi sosial maupun budaya. Dengan pembentukan daerah otonom baru, daerah otonom tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang lebih besar dalam mengurus dirinya sendiri, terutama berkaitan dengan pengelolaan sumber-sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam dan pengelolaan bantuan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang lebih baik.

Desentralisasi merupakan suatu refleksi proses reformasi politik, sosial budaya dan ekonomi. Perubahan politik dan sosial budaya di Indonesia dengan kecenderungan pergeseran pelayanan publik dari wewenang pemerintah pusat beralih menjadi wewenang tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal (Warsito Utomo,1997). Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.

Dinamika perkembangan wilayah menjadi otonom seperti itu disikapi pemerintah pusat dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sejak Januari 2001. Dalam hubungannya dengan pembentukan daerah otonom, Pasal 18 UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi dalam daerah kabupaten dan daerah kota

Untuk mendukung implementasi kebijakan otonomi daerah, Pemerintah Pusat telah mempersiapkan berbagai kebijakan, antara lain Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa:

dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakt. Pada pasal 4 ayat (2) dinyatakan pula bahwa daerah-daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarkis satu sama lain. Selanjutnya pada pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah”.


Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa keinginan masyarakat daerah untuk membentuk daerah otonom baru memang dimungkinkan oleh paraturan perundangan yang berlaku.

Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan tema lama yang tampaknya selalu menemukan aktualitas dan relevansinya. Dikatakan tema lama karena Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan landasan yuridis yang jelas tentang eksistensi otonomi daerah. Seiring dengan ditetapkannya UUD 1945, sejak itu pengaturan tentang pemerintahan daerah dalam perundang-undangan sebagai penjabaran pasal 18 mulai ramai diperdebatkan. Hal ini tampak dari kehadiran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur tentang otonomi daerah.

Kajian terhadap isi undang-undang yang pernah dipergunakan untuk mengatur pemerintahan daerah tetap saja menarik perhatian berbagai kalangan serta membuka peluang terjadinya perdebatan. Sampai saat ini sudah enam kali diadakan perubahan dan penyempurnaan, terakhir dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang sekarang sedang diimplementasikan. Materi perdebatan dalam Undang-undang Otonomi Daerah berada pada segi yang esensial, yaitu mengenai seberapa besar Pemerintah Pusat menyerahkan kewenangannya kepada daerah otonom (Yudoyono, 2001).

Dengan demikian maka pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia menurut Suwandi (2002) memiliki ciri-ciri:

(1) daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal, (2) desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan, (3) penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada angka 2 tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.


Sejalan dengan banyaknya keinginan untuk pembentukan daerah otonom baru, baik yang berupa pemekaran maupun peningkatan status, khususnya di daerah kabupaten dan daerah kota sesuai dengan mekanisme pembentukan daerah otonom maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, penghapusan dan Penggabungan Daerah, yang isinya antara lain menyebutkan persyaratan, kriteria, prosedur, pembiayaan pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah.

Berdasarkan data yang ada, hingga saat ini total daerah kabupaten dan kota di Indonesia berjumlah 410, terdiri dari 324 daerah kabupaten dan 86 daerah kota (Kompas, 28 Januari 2003).

Seiring dengan perkembangan dinamika di berbagai daerah dan peraturan pendukung yang ada, pemerintah daerah Kabupaten Minahasa mengajukan pembentukan daerah Kota Tomohon yang wilayahnya terdiri dari tiga kecamatan. Beberapa alasan yang mendasari Pemerintah Kabupaten Minahasa untuk membentuk daerah Kota Tomohon adalah, pertama, peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah yang berlaku saat ini (UU No. 22 Tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000) memberikan kemungkinan untuk dilakukannya pemekaran satu daerah otonom menjadi beberapa daerah otonom baru. Kedua, pemekaran Kabupaten Minahasa menjadi beberapa daerah otonom baru yakni Kabupaten Induk (Minahasa), Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon yang telah ditetapkan, serta Kabupaten Minahasa Utara yang dalam proses pembahasan, dipandang akan membawa berbagai keuntungan bagi masyarakat, seperti fasilitas sosial, ekonomi dan finansial untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat pada masa depan. Ketiga, tuntutan masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang lebih baik, dengan semakin sedikitnya birokrasi yang harus dilalui dalam memperoleh jasa pelayanan publik. Keempat, keinginan masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengelola sendiri sumber daya dan potensi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Permasalahan besar yang menghadang pembentukan Tomohon sebagai daerah otonom adalah masalah kemandirian keuangan daerah, terbatasnya infrastruktur perkotaan sampai pada sumber daya aparatur pemerintah daerah. Kuatnya aspirasi masyarakat Tomohon untuk mengangkat Tomohon menjadi suatu daerah yang otonom telah menjadi alasan utama bagi pemerintah untuk mewujudkan daerah Kota Tomohon. Hal ini tercermin dari upaya Pemerintah Kabupaten Minahasa dan Panitia Pembentukan Daerah Kota Tomohon (P2DKT), yang terus memperjuangkan dalam agenda pembahasan Pemerintah dan DPR RI agar Tomohon dapat disahkan menjadi daerah otonom.

Pembentukan Daerah Kota Tomohon akhirnya ditetapkan pada 27 Januari 2003 bersama-sama dengan 25 kabupaten dan kota yang diusulkan DPR RI. Kesepakatan itu diambil pada pertemuan antara DPR RI dan Pemerintah dalam hal ini Mendagri Hari Sabarno dengan 25 bupati/walikota termasuk Bupati Minahasa, Dolfie Tanor di Jakarta. (Manado Post, 28 Januari 2003).

Masalah kelayakan Tomohon menjadi suatu daerah yang mempunyai otonomi penyelenggaraan pemerintahan hingga kini masih menjadi pertanyaan besar mengingat potensi yang dimiliki Tomohon yang sangat minim untuk berdiri sendiri sebagai suatu daerah otonom. Berapa besar potensi PAD yang dapat digali dari sumber pendapatan yang ada di Tomohon pada saat ini dan bagaimana pengembangan potensi sumber daya alam yang ada di Tomohon? Menjadi suatu pertanyaan sekarang ini, apakah Kota Tomohon dapat hidup dan berkembang dari potensi yang ada sekarang ini terutama sektor pertanian? Berapa bagian petumbuhan ekonomi yang dapat disumbangkan oleh sektor pertanian terhadap pembangunan Kota Tomohon? Dengan demikian, nampak bahwa Tomohon tidak layak untuk menjadi suatu daerah otonom mengingat potensinya yang sangat minim. Apakah mungkin dengan potensi yang serba terbatas dapat menghidupi suatu unit pemerintah kota yang otonom?

Dengan melihat kondisi Tomohon saat ini bahwa dari sisi kemampuan ekonomi dan finansial daerah yang tidak mandiri maka satu-satunya harapan untuk membantu dalam pembiayaan pembangunan Kota Tomohon yaitu berasal dari bantuan pemerintah pusat dalam berbagai bentuknya. Hal inilah yang kemudian menjadi ujung tombak penyelenggara pemerintahan di daerah Kota Tomohon untuk menutupi berbagai kekurangan dalam penyediaan pelayanan kepada masyarakat. Konsekuensinya adalah makin menipisnya biaya untuk melakukan investasi dan pembangunan prasarana lainnya.

Sekarang ini menarik untuk dikaji mengapa dan bagaimana sehingga Tomohon dapat disahkan sehingga menjadi suatu daerah kota yang otonom. Dari segi persyaratan kemampuan ekonomi dan finansial seperti diuraikan sebelumnya nampaknya Tomohon tidak layak untuk menjadi suatu daerah otonom, tetapi mengapa Tomohon “lulus ujian” dan kemudian “diundangkan” sebagai suatu daerah kota yang memiliki status otonom?. Penjelasannya mungkin harus dicari melalui sudut pandang politik yang menghendaki agar Tomohon dapat ditetapkan menjadi daerah otonom. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dukungan berbagai stakeholders.. Bahwa dengan terbentuknya Kota Tomohon maka akan membuka peluang bagi stakeholders tertentu untuk duduk dalam jabatan-jabatan politis tertentu. Hal yang menimbulkan masalah jikalau pemberian status otonomi kepada Tomohon, ternyata tidak diikuti oleh semakin baiknya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Dikhawatirkan justru pelayanan akan semakin mahal karena Pemerintah Kota Tomohon dituntut untuk dapat menghimpun PAD sebanyak-banyaknya.


B. Rumusan Masalah

Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem sehingga masyarakat bisa menjalani kehidupannya secara wajar. Pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Rasyid,1998). Oleh karena itu, Osborne dan Gaebler (ibid) menyatakan bahwa pemerintahan perlu semakin didekatkan kepada masyarakat. Dikaitkan dengan pembentukan daerah otonom baru diharapkan pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih terjamin, dalam arti bahwa masyarakat setempat lebih memiliki akses kepada pelayanan publik yang lebih baik..................................

KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI UNIT PELAYANAN TERPADU (UPT) KABUPATEN JEMBER

Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas digariskan dalam pembukaan UUD 1945 alenia keempat, yang meliputi 4 (empat) aspek pelayanan pokok aparatur terhadap masyarakat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Ruang lingkup pelayanan dan jasa-jasa publik (public services) meliputi aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas. Pelayanan dan jasa publik bahkan dimulai sejak seseorang dalam kandungan ketika diperiksa oleh dokter pemerintah atau dokter yang dididik di universitas negeri, mengurus akta kelahiran, menempuh pendidikan di universitas negeri, menikmati bahan makanan yang pasarnya dikelola oleh pemerintah, menempati rumah yang disubsidi pemerintah, memperoleh macam-macam perijinan yang berkaitan dengan dunia usaha yang digelutinya hingga seseorang meninggal dan memerlukan surat pengantar dan surat kematian untuk mendapatkan kapling di tempat pemakaman umum (TPU).

Luasnya ruang lingkup pelayanan dan jasa publik cenderung sangat tergantung kepada ideologi dan sistem ekonomi suatu negara. Negara-negara yang menyatakan diri sebagai negara sosialis cenderung memiliki ruang lingkup pelayanan lebih luas dibandingkan negara-negara kapitalis. Tetapi luasnya cakupan pelayanan dan jasa-jasa publik tidak identik dengan kualitas pelayanan itu sendiri. Karena pelayanan dan jasa publik merupakan suatu cara pengalokasian sumber daya melalui mekanisme politik, bukannya lewat pasar, maka kualitas pelayanan itu sangat tergantung kepada kualitas demokrasi. Konsekuensi dari hal ini adalah negara-negara yang pilar-pilar demokrasinya tidak bekerja secara optimal tidak memungkinkan pencapaian kualitas pelayanan publik yang lebih baik. Bahkan sebaliknya, pelayanan publik tanpa proses politik yang demokratis cenderung membuka ruang bagi praktek-praktek korupsi.

Sebagai bagian dari sistem kenegaraan dengan konstitusi yang pekat dengan norma keadilan, ekonomi Indonesia dicirikan oleh ruang lingkup pelayanan publik yang sangat luas. Sayangnya, pelayanan publik yang menyentuh hampir setiap sudut kehidupan masyarakat tidak ditopang oleh mekanisme pengambilan keputusan yang terbuka serta proses politik yang demokratis. Karena itu tidak mengherankan jika pelayanan publik di Indonesia memiliki ciri yang cenderung korup, apalagi yang berkaitan dengan pengadaan produk-produk pelayanan publik yang bersifat kewajiban seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Surat Izin Mengemudi (SIM), Pasport, dan lain-lain.

Kendati mungkin fenomena korupsi yang berkaitan dengan jenis-jenis produk tadi hanya melibatkan biaya transaksi (antara sektor publik dengan individu masyarakat) yang relatif kecil (pretty corruption), tetapi biaya-biaya transaksi tersebut melibatkan porsi populasi yang sangat besar. Karena itu pola korupsi dengan menggunakan instrumen produk-produk pelayanan tersebut bisa jadi memiliki dampak yang sangat luas.

Masalahnya kemudian adalah bagaimana meminimalkan biaya-biaya transaksi tersebut? Teramat sulit tentunya menjawab pertanyaan ini, kendati jawabannya merupakan bagian terpenting dari strategi pemberantasan korupsi di sektor publik. Karena itu kajian mengenai mekanisme pelayanan publik, berikut biaya-biaya transaksinya menjadi elemen penting dari strategi pemberantasan korupsi.

Sejalan dengan itu, prinsip market oriented organisasi pemerintahan harus diartikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah (aparatur) harus mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat. Demikian juga prinsip catalitic government, mengandung pengertian bahwa aparatur pemerintah harus bertindak sebagai katalisator dan bukannya penghambat dari kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya mempercepat pelayanan masyarakat. Dalam konteks ini, fungsi pemerintah lebih dititikberatkan sebagai regulator dibanding implementator atau aktor pelayanan. Sebagai imbangannya, pemerintah perlu memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat sendiri sebagai penyedia atau pelaksanaan jasa pelayanan umum. Dengan kata lain, tugas pemerintah adalah membantu masyarakat agar mampu membantu dirinya sendiri (helping people to help themselves). Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan prinsip self-help atau steering rather than rowing.

Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sebagai institusi yang khusus bertugas memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat, pada dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau inovasi manajemen pemerintahan di daerah. Artinya, pembentukan organisasi ini secara empirik telah memberikan hasil berupa peningkatan produktivitas pelayanan umum minimal secara kuantitatif. Dalam konteks teori Reinventing Government, pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) ini telah menghayati makna community owned, mission driven, result oriented, costumer oriented, serta anticipatory government.

Oleh karena itu, inovasi pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) ini perlu dikembangkan lagi dengan penemuan-penemuan baru dalam praktek manajemen pemerintahan di daerah. Salah satu peluang yang dapat dikembangkan dalam hal ini adalah penyediaan jasa-jasa pelayanan kedalam beberapa alternatif kualitas. Jenis pelayanan yang secara kualitatif lebih baik dapat dikenakan biaya yang agak mahal, sementara jasa pelayanan standar dikenakan biaya atau tarif yang standar pula. Pemasukan dari jenis pelayanan yang relatif mahal, akan dapat dipergunakan untuk membiayai pelayanan yang lebih murah, melalui mekanisme subsidi silang (cross subsidi). Dengan cara demikian, diharapkan institusi dapat membiayai sendiri kebutuhan operasionalnya, dengan tidak mengorbankan fungsi pelayanan yang menjadi tugas utamanya.

Selain itu, fenomena di atas juga menunjukkan bahwa masyarakat yang belum terlayani masih lebih besar dibandingkan masyarakat yang sudah terlayani. Kenyataan tersebut disebabkan selain karena faktor geografis juga oleh lemahnya pelayanan oleh petugas baik secara administratif maupun teknis. Untuk itu Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sebagai organisasi pelaksana harus meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan, karena pada hakikatnya kualitas ditentukan hanya oleh pelanggan (Coupet dalam Osborne dan Gaebler, 1992).

Kenyataan tersebut tidak saja disebabkan oleh berbagai hambatan sebagaimana disebutkan di atas, melainkan masih ada hal lain yang menjadi penyebabnya, seperti dalam memberikan pelayanan publik tidak diikuti oleh peningkatan kualitas birokrasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Kita semua menyadari pelayanan publik selama ini bagaikan rimba raya bagi banyak orang. Amat sulit untuk memahami pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Masyarakat pengguna jasa sering dihadapkan pada begitu banyak ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan pelayanan itu bisa diperolehnya. Begitu pula dengan harga pelayanan. Harga bisa berbeda-beda tergantung pada banyak faktor yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh para pengguna jasa. Baik harga ataupun waktu seringkali tidak bisa terjangkau oleh masyarakat sehingga banyak orang yang kemudian enggan berurusan dengan birokrasi publik.

Dari uraian diatas telah disebutkan bahwa keberadaan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) secara empirik telah berhasil mendongkrak efisiensi dan produktivitas pelayanan publik. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa selain pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP), fungsi Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sesungguhnya tidak lebih sebagai front liner dalam penyelenggaraan pelayanan tertentu. Artinya, Unit Pelayanan Terpadu (UPT) memfungsikan dirinya sebagai ‘loket’ penerima permohonan yang akan dilanjutkan prosesnya kepada Dinas/Instansi fungsionalnya masing-masing. Dalam kondisi demikian, maka pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) justru dapat dipersepsikan sebagai ‘penambahan rantai birokrasi’ dalam pelayanan kepada masyarakat.

Untuk menghindari kesan yang negatif ini, maka mau tidak mau Unit Pelayanan Terpadu (UPT) harus dapat bekerja secara profesional, dalam pengertian bahwa meskipun terjadi penambahan rantai birokrasi, namun proses penyelesaian jasa pelayanan dapat dilakukan secara lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik pula.

Pada dasarnya penelitian tentang kualitas pelayanan publik ini penting untuk dilakukan, dikarenakan masyarakat sebagai customer service belum merasa puas baik dari segi waktu, biaya dan mutu pelayanan yang selama ini diberikan. Untuk itu penelitian ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik terutama yang dilaksanakan di Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember.

Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember ini termasuk masih berusia muda juga, sampai saat ini pelaksanaannya masih berjalan kurang lebih 4 (empat) tahun, awal pendiriannya pada tahun 1998 yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati Jember nomor 58 tahun 1998 tentang Pelaksanaan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) di Kabupaten Jember.

Namun, dalam perjalanannya masih banyak dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Telah banyak cerita atau pengalaman dari sebagian atau bahkan hampir semua masyarakat sebagai pengguna dari pelayanan publik yang mengeluhkan terhadap pelayanan yang telah diberikan oleh Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember tersebut. Melalui studi awal (Desember 2001) yang telah dilakukan, berikut ini disajikan fenomenanya yang diperoleh melalui kumpulan kliping surat kabar tentang pelayanan melalui Bagian Humas Pemda Kabupaten Jember.

Saya dan keluarga bingung, stress dan luar biasa cemasnya. Sudah beberapa malam sulit tidur...entah apa yang akan terjadi di kemudian hari. Sudah setahun lebih bermukim di kota ini, kami belum mempunyai identitas penduduk sama sekali. Padahal telah lama kami megajukan permohonan pengurusan identitas penduduk, nyatanya sampai saat ini keinginan kami itu belum terwujud. Waktu dan dana yang tidak sedikit jumlahnya telah dikeluarkan dan hingga kini kami menemui banyak kesulitan dalam pengurusan segala sesuatu yang membutuhkan identitas penduduk (Lentera, Oktober 2000).


Saya mengurus IMB lewat kenalan saya yang bekerja di Dinas Tata Kota, nyatanya sampai bertahun-tahun belum selesai-selesai juga. Kalau saya tanya, bagaimana caranya supaya IMB cepat selesai? Jawabnya, kalau orang Tata Kota masih diam, berarti belum selesai, ya kita diamkan saja...ditunggu saja (Lentera, Maret 2001).


Saya dan keluarga berencana akan mendirikan usaha kecil-kecilan di jaman yang semakin susah ini, sekalian untuk tambahan penghasilan. Sudah saya urus perijinanya dan untuk tempat usahanya. Tetapi, nyatanya hingga sekarang surat ijin tersebut belum selesai-selesai juga (Lentera, Agustus 2001).


Saya paling malas kalau harus mengurus surat-surat atau apapun yang ada hubungannya dengan Pemda. Pasti ujung-ujungnya sudah lama ngurusnya, birokrasinya berbelit-belit, keluar uang banyak lagi. Disuruh ngurus inilah...kurang itulah...apalah. Pusing!! (Lentera, Desember 2001).


Fenomena diatas menggambarkan betapa buruknya kualitas pelayanan publik yang selama ini dinikmati oleh masyarakat. Sudah sejak lama masyarakat mengeluh terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang dirasakannya amat jauh dari harapannya. Tetapi sejauh ini ternyata tidak ada perbaikan yang berarti dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan, harapan masyarakat bahwa pergantian rezim akan membawa perbaikan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik ternyata makin jauh dari kenyataan.

Data lain tentang kualitas pelayanan publik yang telah diberikan tercermin dalam laporan banyaknya keluhan masyarakat yang disampaikan melalui surat kabar maupun media elektronik seperti radio. Adapun datanya sebagai berikut :

Tabel 1

Jenis dan Frekuensi Keluhan Masyarakat

Desember 2001

Masalah/Keluhan Masyarakat

Frekuensi

  1. Biaya mahal

  2. Waktu pengerjaan lama

  3. Terlalu berbelit-belit

  4. Selalu ada kesalahan

  5. Aparat tidak ramah

  6. Ruangan kotor

11

23

9

6

14

8

Sumber : Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember

Dari data pada tabel 1 tersebut, masih terdapat adanya keluhan atau ketidakpuasan masyarakat akan hasil pelayanan, jelas terlihat bahwa keluhan masyarakat akan menunjukkan kualitas pelayanan yang diberikan. Sebab, inti dari pelayanan publik mempunyai tujuan akhir yang bermuara kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas pelayanan yang diterima masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas, penulis berkeinginan untuk menyuguhkan penelitian dan penulisan tesis dengan judul : Kualitas Pelayanan Publik di Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember.

Untuk menghindari kesan yang negatif ini, maka mau tidak mau Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Jember harus dapat bekerja secara profesional, dalam pengertian bahwa meskipun terjadi penambahan rantai birokrasi, namun proses penyelesaian jasa pelayanan dapat dilakukan secara lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik pula.

Sunday, May 25, 2008

STUDI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DI KABUPATEN ACEH BARAT

Komitmen kebangsaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak 5 tahun terakhir telah mengalami berbagai guncangan. Ancaman disintegrasi bangsa yang dipicu oleh krisis multidimensional seakan menguatkan bahwa komitmen kebangsaan Indonesia harus kembali mendapat perhatian dan terus ditumbuhkembangkan, dibina secara sistematis dan substansial. Kesadaran sebagai bangsa yang besar, bangsa yang pluralis, multi etnis seakan mulai memudar, karena sistem Pemerintahan Orde Baru (ORBA) yang cenderung mengkonstruksi bangsa ini menjadi bangsa yang seragam dari segi budaya, pemerintahan dan lain-lain. Fenomena ini berlangsung dalam kurun waktu 32 tahun dan baru kini dipikirkan bahwa model otoritarianisme cenderung kurang sesuai dengan realitas pluralisme Bangsa Indonesia. Di satu sisi otoritarianisme cenderung melahirkan sistem pemerintahan yang sentralistik, paternalistik sedemikian rupa sehingga memunculkan pemusatan kekuatan politik dan ekonomi bangsa pada satu kelompok tertentu, sedangkan di sisi yang lain kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin makin sulit di ukur.

Pada zaman Orde Baru, sentralisasi kekuasaan didominasi oleh Pemerintah Pusat, sementara kepentingan-kepentingan Daerah hanya sebatas menjalankan dan mentaati keputusan Pemerintah Pusat tersebut. Hampir tidak ada hubungan yang kooperatif-mutualisme antara keduanya, apalagi antara Pemerintah Pusat dengan masyarakat di Daerah. Implikasinya adalah bahwa pelaksanaan program pembangunan di Daerah-Daerah cenderung meninggalkan substansi pembangunan yang semestinya dibutuhkan oleh masyarakat. Aspirasi masyarakat yang seharusnya direspon secara proaktif oleh Pemerintah Pusat hanya menjadi mimpi-mimpi pelelap tidur yang tidak pernah menjadi kenyataan.

Fenomena ini semakin menumbuhkan benih-benih ketidakpercayaan masyarakat daerah terhadap Pemerintah Pusat. Fenomena ini mencapai puncaknya ketika Bangsa Indonesia dilanda krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan. Krisis kepercayaan makin meletupkan berbagai aksi protes rakyat, seiring dengan mulai terkuaknya kasus-kasus tindak korupsi, kolusi dan nepotisme yang belangsung pada masa Orde Baru.

Pemerintahan pasca Orde Baru yang disebut-sebut sebagai pemerintahan Orde Reformasi atau Orde Indonesia Baru mulai menyadari bahwa krisis yang melanda Bangsa Indonesia tidak akan bisa diatasi jika tidak dengan mengikutsertakan seluruh komponen Bangsa di dalam proses berpemerintahan. Oleh karena itu perberdayaan Daerah adalah salah satu solusi yang diambil, sehingga dikeluarkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Undang-Undang ini pada hakekatnya ingin mengadakan perbaikan yang signifikan didalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan menekankan pada prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta dengan serius memperhatian potensi dan keragaman Daerah.

Namun demikian, keluarnya kedua Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut tidak akan berarti apa-apa apabila aspirasi masyarakat Daerah tetap kurang diperhatikan, karena semangat dari kedua Undang-Undang tersebut pada hakekatnya adalah bagaimana Pemerintah Pusat merespon keinginan dan aspirasi masyarakat di Daerah sehingga pembangunan di Daerah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Daerah tersebut. Untuk itu masyarakat diberikan peranan yang sebesar-besarnya dan peran tersebut diberikan dalam bentuk kewenangan dalam mengatur urusan rumah tangga sendiri sehingga diharapkan akan terbentuk masyarakat yang bermartabat, sejahtera dan merata di seluruh wilayah Indonesia.

Kini penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah sudah berjalan hampir 4 tahun. Banyak sekali perubahan yang terjadi dalam kehidupan Pemerintahan Daerah. Upaya-upaya untuk memaksimalkan fungsi-fungsi pemerintah terus dilaksanakan, termasuk di dalamnya dengan mendekatkan Pemerintah dengan masyarakat baik di dalam konteks psikologi maupun secara fisik agar masyarakat dapat menikmati hasil-hasil pembangunan sebagai ‘”buah” dari kemerdekaan. Keinginan-keinginan masyarakat di daerah untuk mendirikan atau membentuk daerah-daerah baru, baik daerah Provinsi maupun daerah Kabupaten/Kota adalah salah satu manifestasi dari upaya-upaya tersebut.

Banyaknya tuntutan masyarakat di Daerah untuk mendirikan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang baru pasca diberlakukannya Undang-undang No. 22 dan 25 tahun 1999 adalah salah satu fenomena menarik untuk dikaji dan dicermati dalam konteks pola hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah. Diawali dari pulau Sumatera dengan Isu Pemekaran Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menjadi 3 Provinsi berikut Kabupaten dan Kota yang ada didalamnya, Pembentukan Provinsi Bangka Belitung dan Kepuluan Riau, Pulau Jawa dengan Provinsi Banten dan Madura, Pulau Sulawesi dengan Propinsi Sulawesi Barat dan Gorontalo, Pulau Maluku dengan Provinsi Maluku Utara, sampai ke Provinsi Papua dengan Provinsi Papua Barat, Papua Tengah dan Papua Timur. Dipulau Kalimantanpun sebenarnya pernah dideklarasikan oleh masyarakat untuk pembentukan Provinsi baru di Provinsi Kalimantan Tengah yaitu Provinsi Kotawaringin Raya (gabungan Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat). Namun kelihatannya baru terbatas sampai wacana dan tidak terekspos secara luas.

Berkaitan dengan keinginan tersebut, berbagai alasan dikemukakan untuk menuntut pembentukan Provinsi atau Kabupaten/Kota yang baru, diantaranya adalah alasan terlalu luasnya daerah (secara geografis), daerah memiliki potensi yang memadai secara ekonomi untuk membangun dirinya sendiri, adanya keinginan untuk mengelola sendiri pembiayaan pembangunan daerah, dan ingin memberikan pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat serta sejumlah alasan lainnya. Banyaknya tuntutan ini membuat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota induk sedikit kesulitan dalam memilih dan memilah mana yang harus diperhatikan terutama dalam kaitan penyediaan, pembenahan berbagai Kebijakan Pemerintah khususnya yang menyangkut dengan struktur organisasi pemerintahan dan DPRD baru bagi daerah yang telah resmi menjadi Provinsi dan Kabupaten/Kota yang baru (Jurnal Otonomi Daerah-Depdagri, 2000).

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, disebutkan bahwa pemekaran daerah berarti pemecahan wilayah daerah yang telah ada, dengan mempertimbangkan berbagai faktor di Daerah. Selanjutnya disebutkan pertimbangan faktor-faktor itu diantaranya adalah : (1)kemampuan ekonomi; (2)potensi daerah; (3)sosial budaya; (4)sosial politik; (5)jumlah penduduk; (6)luas daerah dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Tentunya tuntutan masyarakat untuk membentuk Daerah-Daerah baru harus mengacu kepada pertimbangan atau kriteria diatas, sebab apabila tidak maka Pemekaran Daerah hanya akan memberikan makna yang tidak penting dan tidak berarti bagi masyarakat. Sehubungan dengan pemekaran daerah ini H.A. Dj. Nihin (2000), mengatakan bahwa:

Aspirasi memekarkan daerah itu atas dasar pertimbangan yang tepat, misalnya dengan pemekaran daerah pusat pemerintahan dan pelayanan semakin dekat dengan masyarakat, partisipasi masyarakat akan bertambah dan lebih intensif dalam kehidupan kemasyarakatan, pemerintahan dan pembangunan didaerahnya. Sedangkan bila timbulnya aspirasi itu lebih karena emosional, primordialisme dan semata-mata hanya ingin menjadi Daerah Otonom sendiri, tidak atas dasar persyaratan yang tepat, tidak memperhitungkan potensi sumber daya yang ada, akan mempersulit kondisi masyarakat Daerah tersebut, dan tidak akan menjamin pengembangan Daerah kearah yang lebih baik, bahkan melemahkan tingkat ketahanan wilayah karena akan mendatangkan berbagai beban dan persoalan.


Kabupaten Aceh Barat yang merupakan bagian dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah salah satu dari sekian banyak daerah yang menuntut untuk membentuk Daerah Kabupaten yang baru dengan pola pemekaran daerah, Apabila diruntut dari proses pemekarannya, tuntutan ini bukanlah didasari atas euforia Otonomi Daerah atau primordialisme, tetapi berdasarkan pertimbangan yang logis sebagaimana daerah lain yang lebih dahulu resmi menjadi Kabupaten yang baru. Adapun dukungan yang sangat kuat bagi proses pemekaran terhadap Daerah Kabupaten Aceh Barat adalah: Pertama, adanya aspirasi masyarakat terutama dari kalangan tokoh ulama, tokoh masyarakat, pemuda, adat dan kesatuan wanita dalam daerah Pembantu Bupati Wilayah Calang dan Seunagan agar daerahnya dapat dibentuk Kabupaten baru yang definitif ; Kedua , adanya rekomendasi dari DPRD Kabupaten Aceh Barat melalui suratnya Nomor 135/1151/DPRD tanggal 29 Mei 2000 dan DPRD Propinsi NAD Nomor 138/8333 tanggal 20 Juni 2000 (Dokumen expose Bupati Aceh Barat tentang Pemekaran Daerah, 2001).

Dengan luas wilayah 10.104,66 km² dan penyebaran penduduk yang tidak merata berjumlah 507.098 jiwa (Kantor BPS Kab. Aceh Barat, 2002) daerah ini telah diusulkan untuk dimekarkan melalui peningkatan status administratif 2 wilayah Pembantu Bupati yaitu Pembantu Bupati Wilayah Calang dan Pembantu Bupati Wilayah Seunagan menjadi Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Nagan Raya. Proses pengusulannya melewati jalan yang sangat mulus dan disetujui oleh sidang Paripurna DPR-RI yang berlangsung dari tanggal 7 s/d 18 Maret 2002 (Kompas, 25 Pebruari 2002). Selanjutnya dengan persetujuan tersebut lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002 berkaitan dengan Pembentukan Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Nagan Raya beserta 3 buah Kabupaten baru lainnya di Propinsi NAD.

Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tersebut dengan jelas diatur tentang Batas-Batas Daerah, kewenangan Pemerintahan Daerah, pembentukan lembaga Legislatif, pembentukan lembaga Eksekutif pada Kabupaten yang baru dan pengangkatan dan mutasi PNS serta serah terima Asset Daerah (baik berupa barang kekayaan daerah, utang-piutang serta arsip atau dokumen penting).

Hingga saat ini Kebijakan Pemerintah yang mengatur pemekaran daerah di Kabupaten Aceh Barat telah berumur satu tahun diimplementasikan yaitu dari tanggal 10 April 2002 sebagai tanggal penetapannya. Namun kenyataan menunjukkan bahwa dari 5 kegiatan pokok yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 sebagai suatu rangkaian proses Pemekaran Daerah, hanya 3 kegiatan pokok yang baru dapat dilaksanakan. Diantara 3 kegiatan pokok yang telah dilaksanakan itupun ada diantaranya yang tidak tepat waktu, padahal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tersebut hanya memberikan limit waktu paling lama satu tahun bagi Pemerintah Daerah untuk menerapkannya. Misalnya saja di dalam pasal 15 disebutkan bahwa untuk memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten yang baru terbentuk, dipilih dan disahkan seorang Bupati dan Wakil Bupati paling lama satu tahun sejak terbentuknya Kabupaten tersebut. Namun kenyataan menunjukkan bahwa hingga penelitian ini dilakukan (Mei, 2003), proses Pemelihan Bupati dan Wakil Bupati yang definitif belum dilaksanakan.

Adapun perkembangan Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 seperti ditunjukkan oleh check-list berikut ini :

TABEL 1

CHECK-LIST PERKEMBANGAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH

DI KABUPATEN ACEH BARAT



NO



KEGIATAN


PASAL


PELAKSANAAN


1.


PERESMIAN KABUPATEN dan PELANTIKAN Pj. BUPATI

(Paling lambat 1 bulan setelah diundangkan)


16


TELAH DILAKSANAKAN

Tanggal 20 April 2002

di Jakarta


2.


PEMBENTUKAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH



17


TELAH DILAKSANAKAN

Tanggal 29 September 2002



3.


PEMBENTUKAN DPRD

(Paling lambat 6 bulan setelah peresmian Kabupaten)



13


TELAH DILAKSANAKAN

Tanggal 28 Maret 2003



4.


PEMILIHAN BUPATI / WAKIL BUPATI DEFINITIF

(Paling lambat 1 tahun setelah peresmian Kabupaten)



15



BELUM DILAKSANAKAN


5.


SERAH TERIMA ASSET DAERAH

(Paling lambat 1 tahun setelah peresmian Kabupaten)



18



BELUM DILAKSANAKAN

Sumber : Dihimpun dari Dokumen Pemekaran Daerah Kabupaten Aceh Barat,

Hingga awal Mei 2003.

Tuesday, April 29, 2008

ANALISA kemampuan keuangan daerah di dalam melakukan pinjaman di PROPINSI DKI JAKARTA

1.1 Latar Belakang

Sehubungan dengan kecenderungan cepatnya perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini, memiliki implikasi terhadap percepatan perubahan perilaku masyarakat, terutama yang berkaitan dengan tuntutan keinginan adanya transparansi pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah, demokratisasi dalam pengambilan keputusan, pemberian pelayanan oleh pemerintah yang lebih berorientasi pada kepuasan masyarakat dan penerapan hukum secara konsekuen. Sebagai konsekuensinya maka pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sejak Bulan Januari tahun 2001.

Dengan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut telah membuka era baru bagi pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia, maka tugas dan tanggung jawab yang harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah bertambah banyak. Seperti yang dikemukanan oleh Darumurti dan Rauta (2000 : 49) bahwa implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah, dapat merupakan berkah bagi daerah namun pada sisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut sekaligus juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk melaksanakannya, karena semakin bertambahnya urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Untuk itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan yaitu, sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana.

Dengan menyimak pandangan yang diungkapkan oleh Pamudji menegaskan bahwa Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan (lihat Kaho, 1998 : 124). Dan keuangan inilah yang merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumahtangganya sendiri. Dengan demikian masalah keuangan merupakan masalah penting dalam setiap kegiatan pemerintah di dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah karena tidak ada kegiatan pemerintah yang tidak membutuhkan biaya, selain itu faktor keuangan ini merupakan faktor penting di dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Kemampuan daerah yang dimaksud dalam pengertian tersebut adalah sampai seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangan sendiri guna membiayai kebutuhannya tanpa harus selalu menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi Pemerintah Pusat.

Musgrave dan Musgrave (1993 : 6 – 13) mengemukakan bahwa pesatnya pembangunan daerah menuntut tersedianya dana bagi pembiayaan pembangunan yang menyangkut perkembangan kegiatan fiskal yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi sumber-sumber pembiayaan yang semakin besar. Tatanan pemerintah yang mengarah pada diperluasnya otonomi daerah, menuntut kemandirian daerah di dalam mengatur dan menetapkan kebijakan pemerintahan di daerah menurut prakasa dan aspirasi masyarakat. Untuk mempersiapkan kemandirian daerah tersebut, yang harus dilakukan daerah adalah dengan memperkuat struktur perekonomiannya sehingga pemerintah daerah harus dapat memiliki sumber-sumber keuangan yang memadai. Untuk itu pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola dan menggali sumber-sumber keuangannya agar dapat membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya.

Kemandirian keuangan daerah ini tidak diartikan bahwa setiap pemerintah daerah harus dapat membiayai seluruh kemampuannya dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena di samping dari PAD masih ada penerimaan lain sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah disebutkan bahwa sumber penerimaan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Sejalan dengan undang-undang tersebut maka pemerintah daerah dituntut untuk dapat meningkatkan pendapatannya di dalam pelaksanaan pembangunan daerah, sementara itu sumber pendapatan asli daerah untuk membiayai belanja daerah masih sangat rendah sehingga kemampuan pemerintah daerah untuk menyediakan dana pembangunan sangat terbatas, untuk menutupi kekurangan dana tersebut maka pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menggunakan dana pinjaman. Penggunaan dana pinjaman daerah ini sebagai salah satu sumber pilihan pembiayaan pembangunan di masa yang akan datang akan memegang peranan penting dan membuka peluang bagi daerah untuk melakukan pinjaman dari pihak luar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menurut Devas dkk (1999 : 223) pinjaman pemerintah daerah di Indonesia tidak pernah besar. Pada tahun 1983/1984, propinsi meminjam Rp4,5 milyar, atau hanya 0,2 % dari penerimaan propinsi total. Angka-angka bersangkutan dari tahun ke tahun tidak menunjukan pola turun naik yang jelas, dan bahkan sebenarnya hampir seluruh jumlah pinjaman adalah pinjaman DKI Jakarta.

Jakarta sebagai Ibukota Negara, merupakan pusat kegiatan pemerintahan Nasional, Politik, Hankam dan pintu gerbang utama negara. Secara geografis maupun fungsional Jakarta merupakan pusat pembangunan wilayah sekitarnya. Sebagai Propinsi DKI Jakarta mempunyai kedudukan yang sama dengan Propinsi Tingkat I lainnya, namun tidak terbagi atas Dati II di bawahnya. Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta bahwa pemberian otonomi di DKI Jakarta hanya pada lingkup propinsi agar dapat membina dan menumbuh kembangkan Jakarta dalam satu kesatuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Dengan demikian, diharapkan Jakarta akan mampu memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan terpadu kepada masyarakat. Karena Pemerintah Daerah DKI Jakarta tidak memiliki sumber daya alam untuk di eksploitasi, dan Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota negara di mana perkembangan dan pertumbuhan kotanya yang sangat cepat, maka menuntut Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk dapat memikul tanggung jawab di dalam pelaksanaan pembangunan daerah di ibukota, sehingga pemerintah daerah harus dapat menyediakan anggaran/dana investasi yang sangat besar, maka salah satu sumber pendapatan daerah yang bisa digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan adalah dengan menggunakan dana pinjaman daerah, walaupun Pendapatan Asli Daerah (PAD) tetap menjadi tulang punggung tetapi paling tidak pinjaman daerah ini dapat mempercepat proses pembangunan yang dilaksanakan oleh daerah. Karena pinjaman daerah ini dapat digunakan untuk membiayai proyek yang bersifat cost recovery khususnya untuk kepentingan pelayanan masyarakat sehingga dapat meningkatkan pembangunan dan perekonomian daerah.

Seperti yang dikemukakan Devas dkk (1999: 222) pinjaman daerah dibenarkan atas dasar dua pertimbangan :

1. dengan cara meminjam dana untuk menanam modal, pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan di wilayahnya, dibandingkan dengan jika kegiatan pembangunan hanya bergantung pada penerimaan berjalan;

2. karena manfaat penanaman modal baru dapat dipetik setelah jangka waktu yang panjang, maka sudah sepatutnya jika biaya dipikul oleh mereka yang akan menikmati manfaatnya di masa datang.

Selain itu dengan cara meminjam daerah dapat meningkatkan kemampuan pemerintah daerah untuk menggali Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) yang pada gilirannya dapat meningkatkan kemampuan daerah membayar kembali pinjamannya. Namun untuk menentukan apakah suatu daerah tersebut layak atau tidak untuk melakukan pinjaman, diperlukan adanya analisis untuk menghitung kemampuan keuangan daerah dan menentukan besarnya pinjaman, serta batas maksimum pinjaman yang diperbolehkan. Karena pinjaman daerah ini berbeda dengan Pedapatan Asli Daerah seperti pajak dan restribusi, dalam pinjaman ini terdapat kewajiban dari pemerintah daerah untuk mengembalikan berupa angsuran pokok pinjaman yang disertai dengan bunga, biaya administrasi dan denda, sehingga pemerintah daerah harus hati-hati apabila akan melakukan pinjaman. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini menganalisis bagaimanakah kemampuan keuangan Pemerintah Daerah DKI Jakarta di dalam melakukan pinjaman, dan seberapa besar pinjaman yang layak yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

1.2 Keaslian Penelitian

Menurut Riphat dan Hutahaean (1997) yang menganalisis tentang pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan, ada 3 (tiga) aspek penting yang berhubungan dengan kebijaksanaan pinjaman daerah yang selama ini terus dikembangkan meliputi; (i) penyediaan dana pinjaman yang lebih besar untuk pembiayaan proyek yang bersifat cost recovery, (ii) peningkatan kemampuan pemerintah daerah menggali Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) yang pada gilirannya meningkatkan kemampuan daerah membayar kembali pinjaman, (iii) dan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam memutuskan jenis investasi dan cara pembiayaannya, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Menurutnya peranan pinjaman daerah sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah dewasa ini masih relatif kecil, namun memiliki peluang yang sangat besar untuk ditingkatkan. Peluang tersebut antara lain tercermin dari karakteristik pinjaman yang memberikan otonomi atau kebebasan kepada daerah untuk melaksanakan pembangunan di daerah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Menurut Kim (1997 : 167) yang telah melakukan penelitian di Korea selama periode 1970 sampai dengan 1991 menyimpulkan bahwa peranan sektor-sektor publik lokal di kawasan pertumbuhan ekonomi regional di negara korea adalah pertama peranan pemerintah daerah pada pertumbuhan ekonomi regional telah menjadi sangat signifikan, pungutan pajak lokal dan pendapatan daerah tidak kena pajak memiliki efek negatif pada tingkat pertumbuhan ekonomi, konsumsi pemerintah daerah secara khusus cenderung berdampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Dampak secara netto sektor umum daerah memberi tingkat pertumbuhan ekonomi regional sebesar 14,4%. Kedua peranan pemerintah dalam faktor pendorong berdampak ganda (multiplier effect), di mana investasi pemerintah daerah jauh lebih besar daripada konsumsi pemerintah daerah.

Ramirez (1998) melakukan penelitian investasi publik di Mexico mengenai efek pengeluaran investasi publik terhadap pertumbuhan ekonomi dan produktivitas, dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa investasi pemerintah di bidang infrastruktur dan investasi swasta berpengaruh positif terhadap produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya pengurangan konsumsi pemerintah dapat menekan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Yulinawati (1999) telah melakukan penelitian mengenai dampak pinjaman daerah terhadap Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) dan PDRB di Kabupaten Lampung Tengah dan Joestamadji (2000) mengenai dampak pinjaman daerah terhadap PAD dan PDRB di Kota Surabaya dari kedua penelitian tersebut menunjukan bahwa pinjaman daerah mempunyai pengaruh yang positif terhadap PAD dan PDRB. Selanjutnya Lutfiati (2000) yang melakukan penelitian mengenai kemampuan keuangan daerah di dalam melakukan pinjaman di Kabupaten Kediri. Dari hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa keuangan daerah Kabupaten Kediri mampu memberikan dana netto yang disisihkan untuk membayar pokok dan bunga pinjaman sehubungan dengan pelaksanaan pembangunannya.

Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya terlihat bahwa penelitian tersebut tidak meneliti secara khusus mengenai kemampuan keuangan daerah untuk melakukan pinjaman, hanya penelitian yang dilakukan oleh Lutfiati saja yang mengkaji secara khusus kemampuan keuangan daerah di dalam melakukan pinjaman. Namun demikian mengacu kepada penelitian tersebut dalam penelitian ini terdapat perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada daerah di mana penelitian ini dilakukan yaitu Propinsi DKI Jakarta dan periode waktu penelitian yang dilaksanakan.

1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. untuk mengetahui kemampuan keuangan Pemerintah Daerah DKI Jakarta di dalam melakukan pinjaman yang telah dilakukan;

2. untuk menentukan besarnya pinjaman yang layak yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun 2001-2005.

1.3.2 Manfaat penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :

1. diharapkan dapat bermanfaat bagi para pengambil keputusan di lingkungan Pemerintah DKI Jakarta dalam memperkaya kajian tentang keuangan daerah khususnya mengenai kemampuan keuangan dalam melakukan pinjaman daerah sebagai salah satu sumber investasi untuk membiayai pelaksanaan pembangunan.

2. sebagai bahan masukan dan informasi bagi Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam memberi arah atau alternatif kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan pinjaman daerah.

PERANAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KOTA YOGYAKARTA

1.1 Latar Belakang

Memperhatikan berbagai hasil kajian para ahli menunjukkan bahwa otonomi daerah selama ini tergolong sangat kecil dilihat dari indikator kecilnya kewenangan, jumlah bidang pemerintahan, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimiliki daerah (Hoessein, 2000 :3). Hal ini merupakan gambaran dari praktek pemerintahan masa lalu yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dengan berpegang pada Undang-undang tersebut, maka praktek yang terjadi di lapangan berupa sentralisasi kekuasaan yang sangat kuat, sehingga masyarakat di daerah tidak memiliki kekuasaan dan kesempatan untuk mengaktualisasikan kepentingan dan potensi daerahnya sendiri (Mardiasmo, 2000 : 574).

Pada masa sekarang ini dengan perubahan paradigma pemerintahan yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, pemerintah pusat mencoba meletakkan kembali arti penting otonomi daerah pada posisi yang sebenarnya, yaitu bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan. Kewenangan daerah tersebut mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

Kewenangan yang begitu luas tentunya akan membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi daerah untuk menjalankan kewenangannnya itu. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi kewenangannya Sejalan dengan hal tersebut, Koswara (2000 : 5) menyatakan bahwa daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.

Isyarat bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah. Di samping itu PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah. Sebagaimana Santoso (1995 : 20) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah.

Pendapatan Asli Daerah meskipun diharapkan dapat menjadi modal utama bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, pada saat ini kondisinya masih kurang memadai. Dalam arti bahwa proporsi yang dapat disumbangkan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) masih relatif rendah. Sebagaimana yang dialami Pemerintah Kota Yogyakarta, selama kurun waktu tahun anggaran 1991/1992 – 2000 proporsi PAD terhadap TPD rata-rata sebesar 32,96 %. Proporsi sebesar ini sebenarnya tidaklah terlalu kecil bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di seluruh Indonesia. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Fisipol UGM bekerjasama dengan Badan Litbang Depdagri menunjukkan bahwa selama 5 tahun (1986/1987 – 1989/1990) sebagian besar Daerah Kabupaten/Kota atau sebanyak 173 Daerah Kabupaten/Kota (59,25 % dari seluruh Indonesia) mempunyai angka prosentase PAD terhadap total penerimaan daerah di bawah 15 %.

Apabila diamati lebih jauh, maka dapat dilihat di mana sebenarnya letak kecilnya nilai PAD suatu daerah. Untuk mengetahui hal ini perlu diketahui terlebih dahulu unsur-unsur yang termasuk dalam kelompok PAD. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dinyatakan bahwa PAD terdiri dari :

1. hasil pajak daerah;

2. hasil retribusi daerah;


3. hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkannya;

4. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

Menurut Widayat (1994 : 31) faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya penerimaan PAD antara lain adalah :

1. banyak sumber pendapatan di kabupaten/kota yang besar, tetapi digali oleh instansi yang lebih tinggi, misalnya pajak kendaraan bermotor (PKB), dan pajak bumi dan bangunan (PBB);

2. badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum banyak memberikan keuntungan kepada Pemerintah Daerah;

3. kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi, dan pungutan lainnya;

4. adanya kebocoran-kebocoran;

5. biaya pungut yang masih tinggi;

6. banyak Peraturan Daerah yang perlu disesuaikan dan disempurnakan;

7. kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah.

Menurut Jaya (1996 : 5) beberapa hal yang dianggap menjadi penyebab utama rendahnya PAD sehingga menyebabkan tingginya ketergantungan daerah terhadap pusat, adalah sebagai berikut :

1. kurang berperannya Perusahaan Daerah sebagai sumber pendapatan daerah;

2. tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, karena semua jenis pajak utama yang paling produktif baik pajak langsung maupun tidak langsung ditarik oleh pusat;

3. kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan;

4. alasan politis di mana banyak orang khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme;

5. kelemahan dalam pemberian subsidi Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang hanya memberikan kewenangan yang lebih kecil kepada Pemerintah Daerah merencanakan pembangunan di daerahnya.

Secara umum dari kedua pendapat di atas diketahui bahwa masalah rendahnya PAD disebabkan lebih banyak pada unsur perpajakan. Lebih jauh mengenai perpajakan dan permasalahannya perlu dikemukakan pendapat Reksohadiprodjo (1996 : 74-78), yaitu bahwa beberapa masalah yang sering dihadapi sistem pajak di daerah secara keseluruhan, di antaranya adalah adanya kemampuan menghimpun dana yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, yang disebabkan karena perbedaan dalam resources endowment, tingkat pembangunan, dan derajat urbanisasi. Masalah lainnya adalah terlalu banyaknya jenis pajak daerah dan sering tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Tidak ada perbedaan yang jelas antara pajak dengan pungutan lainnya, dan masalah biaya administrasi pajak yang tinggi.

Pada akhirnya keberhasilan otonomi daerah tidak hanya ditentukan oleh besarnya PAD atau keuangan yang dimiliki oleh daerah tetapi ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilannya. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Kaho (1997 : 34-36) bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

1. faktor manusia;

2. faktor keuangan;

3. faktor peralatan;

4. faktor organisasi dan manajemen.

Salah satu ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi adalah dengan melihat besarnya nilai PAD yang dapat dicapai oleh daerah tersebut. Dengan PAD yang relatif kecil akan sulit bagi daerah tersebut untuk melaksanakan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara mandiri, tanpa didukung oleh pihak lain (dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Propinsi). Padahal dalam pelaksanaan otonomi ini, daerah dituntut untuk mampu membiayai dirinya sendiri.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa tingkat kemandirian atau DOF (Derajat Otonomi Fiskal) Kota Yogyakarta yang tercermin dari nilai proporsi antara PAD dengan TPD rata-rata sebesar 32,96 %. Angka ini menggambarkan bahwa peran PAD sebagai sumber utama pelaksanaan otonomi masih rendah, karena sebagian besar penerimaan daerah (sebesar 67,04 %) masih dari sumber lain di luar PAD.

Seiring dengan besarnya tuntutan kepada daerah untuk dapat melaksanakan otonomi daerah, maka tidak ada upaya lain kecuali mengoptimalkan peran PAD di dalamnya. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat menjawab bagaimana peran PAD dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kota Yogyakarta.

1.2 Keaslian Penelitian

Disadari bahwa penelitian mengenai peranan PAD dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah pada dasarnya sudah banyak dilakukan, namun demikian penelitian yang sama dan secara khusus di Kota Yogyakarta belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Saragih (1996) mengatakan bahwa peran PAD sebagai sumber pembiayaan pembangunan masih rendah meskipun perolehannya setiap tahun mengalami peningkatan.

2. Lains (1995) meneliti tentang keuangan dan pembangunan daerah di Sumatera Barat. Menurut Lains kemampuan pembiayaan dengan PAD dalam pelaksanaan pembangunan daerah sangat kecil atau dengan kata lain sebagian besar pembiayaan dasar dibiayai oleh Pemerintah Pusat. Kecilnya proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah disebabkan antara lain karena jenis-jenis pajak yang menjadi hak daerah kurang potensial. Lains menyarankan perlu adanya desentralisasi perencanaan dan pelaksanaan pembiayaan serta sistem pajak dengan pemberian wewenang yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah.

3. Lee dan Snow (1997) mengungkapkan bahwa apabila Pemerintah Daerah akan menaikkan penerimaan pajak, maka sebaiknya Pemerintah Daerah memperhitungkan kemampuan membayar dari masyarakat di daerah tersebut dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan politik.

4. Radianto (1997 : 39) penelitian yang dilakukan di Daerah Tingkat II Maluku mengatakan bahwa peranan PAD dalam membiayai pembangunan Daerah Tingkat II Maluku masih sangat rendah. Hal ini tercermin dari Indeks Kemampuan Rutin (IKR) Daerah Tingkat II Maluku yang masih berada jauh di bawah rata-rata IKR Daerah Tingkat II secara nasional. Misalnya selama kurun waktu Pelita V (1991/1992-1993/1994) IKR Daerah Tingkat II Maluku berturut-turut adalah sebesar 8,1 persen, 7,3 persen, dan 6,5 persen.

5. Kuncoro (1995) memfokuskan pengamatannya pada kenyataan rendahnya PAD, sehingga ketergantungan keuangan Pemerintah Daerah sangat tinggi kepada Pemerintah Pusat. Untuk mengurangi beban subsidi Pemerintah Pusat, Kuncoro menganjurkan diberikannya otonomi keuangan daerah yang relatif luas, sehingga daerah mampu menggali sumber-sumber keuangan sendiri dan memanfaatkannya secara optimal.

6. Lebih lanjut Kuncoro (1995) mengungkapkan bahwa PAD menunjukkan kontribusi yang sangat rendah terhadap total penerimaan daerah di propinsi di Indonesia rata-rata hanya 15,4 % selama tahun 1984/1985 – 1990/1991. Artinya dibanding dengan PAD, subsidi dari Pemerintah Pusat lebih banyak dalam membiayai pengeluaran daerah. PAD hanya 30 % mampu membiayai pengeluaran rutin. Untuk Daerah Tingkat II, PAD hanya mampu membiayai pengeluaran rutinnya sebesar kurang dari 22 %. Sebagian besar Daerah Tingkat II di Indonesia prosentase PAD terhadap total belanja daerah kurang dari 15 %.

7. PAU-SE UGM (2000) yang melakukan penelitian di Kabupaten Magelang menyimpulkan bahwa ketergantungan daerah terhadap sumber penerimaan dari sumbangan dan bantuan Pemerintah Pusat dan dari Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah masih sangat tinggi. Dalam era otonomi daerah akan semakin sulit mendapatkan sumbangan dan bantuan sehingga perlu biaya untuk meningkatkan pendapatan daerah sendiri, terutama dari pajak daerah dan retribusi daerah.

8. Miller dan Russek (1997) meneliti semua negara bagian di Amerika Serikat mengenai struktur pajak dan pertumbuhan ekonomi, dan menemukan bahwa pajak dapat berpengaruh positif dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Implikasinya adalah Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah harus dapat mendorong penerimaan melalui pajak dan menggunakannya secara tepat untuk membiayai pengeluaran yang bersifat strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada lokasi, waktu, dan alat analisis yang digunakan. Berkaitan dengan hal tersebut, sejauh pengamatan dan pengetahuan peneliti maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan di KotaYogyakarta.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut :

1. menganalisis PAD, yaitu dengan menghitung kontribusi sumber-sumber PAD terhadap total PAD;

2. mengukur laju pertumbuhan PAD dan sumber-sumber PAD;

3. mengukur Derajat Otonomi Fiskal (DOF) sebagai ukuran tingkat kemandirian keuangan daerah;

4. mengukur tingkat Kemampuan Rutin Daerah (KRD) atau kemampuan PAD dalam membiayai belanja rutin daerah;

5. mengukur kinerja administrasi penerimaan PAD dengan menghitung nilai efektifitas dan efisiensi PAD.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau informasi bagi Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai acuan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan pada masa yang akan datang. Kebijakan yang diambil tersebutpada akhirnya ditujukan untuk peningkatan peranan PAD dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.