Komitmen kebangsaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak 5 tahun terakhir telah mengalami berbagai guncangan. Ancaman disintegrasi bangsa yang dipicu oleh krisis multidimensional seakan menguatkan bahwa komitmen kebangsaan Indonesia harus kembali mendapat perhatian dan terus ditumbuhkembangkan, dibina secara sistematis dan substansial. Kesadaran sebagai bangsa yang besar, bangsa yang pluralis, multi etnis seakan mulai memudar, karena sistem Pemerintahan Orde Baru (ORBA) yang cenderung mengkonstruksi bangsa ini menjadi bangsa yang seragam dari segi budaya, pemerintahan dan lain-lain. Fenomena ini berlangsung dalam kurun waktu 32 tahun dan baru kini dipikirkan bahwa model otoritarianisme cenderung kurang sesuai dengan realitas pluralisme Bangsa Indonesia. Di satu sisi otoritarianisme cenderung melahirkan sistem pemerintahan yang sentralistik, paternalistik sedemikian rupa sehingga memunculkan pemusatan kekuatan politik dan ekonomi bangsa pada satu kelompok tertentu, sedangkan di sisi yang lain kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin makin sulit di ukur.
Pada zaman Orde Baru, sentralisasi kekuasaan didominasi oleh Pemerintah Pusat, sementara kepentingan-kepentingan Daerah hanya sebatas menjalankan dan mentaati keputusan Pemerintah Pusat tersebut. Hampir tidak ada hubungan yang kooperatif-mutualisme antara keduanya, apalagi antara Pemerintah Pusat dengan masyarakat di Daerah. Implikasinya adalah bahwa pelaksanaan program pembangunan di Daerah-Daerah cenderung meninggalkan substansi pembangunan yang semestinya dibutuhkan oleh masyarakat. Aspirasi masyarakat yang seharusnya direspon secara proaktif oleh Pemerintah Pusat hanya menjadi mimpi-mimpi pelelap tidur yang tidak pernah menjadi kenyataan.
Fenomena ini semakin menumbuhkan benih-benih ketidakpercayaan masyarakat daerah terhadap Pemerintah Pusat. Fenomena ini mencapai puncaknya ketika Bangsa Indonesia dilanda krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan. Krisis kepercayaan makin meletupkan berbagai aksi protes rakyat, seiring dengan mulai terkuaknya kasus-kasus tindak korupsi, kolusi dan nepotisme yang belangsung pada masa Orde Baru.
Pemerintahan pasca Orde Baru yang disebut-sebut sebagai pemerintahan Orde Reformasi atau Orde Indonesia Baru mulai menyadari bahwa krisis yang melanda Bangsa Indonesia tidak akan bisa diatasi jika tidak dengan mengikutsertakan seluruh komponen Bangsa di dalam proses berpemerintahan. Oleh karena itu perberdayaan Daerah adalah salah satu solusi yang diambil, sehingga dikeluarkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Undang-Undang ini pada hakekatnya ingin mengadakan perbaikan yang signifikan didalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan menekankan pada prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta dengan serius memperhatian potensi dan keragaman Daerah.
Namun demikian, keluarnya kedua Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut tidak akan berarti apa-apa apabila aspirasi masyarakat Daerah tetap kurang diperhatikan, karena semangat dari kedua Undang-Undang tersebut pada hakekatnya adalah bagaimana Pemerintah Pusat merespon keinginan dan aspirasi masyarakat di Daerah sehingga pembangunan di Daerah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Daerah tersebut. Untuk itu masyarakat diberikan peranan yang sebesar-besarnya dan peran tersebut diberikan dalam bentuk kewenangan dalam mengatur urusan rumah tangga sendiri sehingga diharapkan akan terbentuk masyarakat yang bermartabat, sejahtera dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Kini penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah sudah berjalan hampir 4 tahun. Banyak sekali perubahan yang terjadi dalam kehidupan Pemerintahan Daerah. Upaya-upaya untuk memaksimalkan fungsi-fungsi pemerintah terus dilaksanakan, termasuk di dalamnya dengan mendekatkan Pemerintah dengan masyarakat baik di dalam konteks psikologi maupun secara fisik agar masyarakat dapat menikmati hasil-hasil pembangunan sebagai ‘”buah” dari kemerdekaan. Keinginan-keinginan masyarakat di daerah untuk mendirikan atau membentuk daerah-daerah baru, baik daerah Provinsi maupun daerah Kabupaten/Kota adalah salah satu manifestasi dari upaya-upaya tersebut.
Banyaknya tuntutan masyarakat di Daerah untuk mendirikan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang baru pasca diberlakukannya Undang-undang No. 22 dan 25 tahun 1999 adalah salah satu fenomena menarik untuk dikaji dan dicermati dalam konteks pola hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah. Diawali dari pulau Sumatera dengan Isu Pemekaran Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menjadi 3 Provinsi berikut Kabupaten dan Kota yang ada didalamnya, Pembentukan Provinsi Bangka Belitung dan Kepuluan Riau, Pulau Jawa dengan Provinsi Banten dan Madura, Pulau Sulawesi dengan Propinsi Sulawesi Barat dan Gorontalo, Pulau Maluku dengan Provinsi Maluku Utara, sampai ke Provinsi Papua dengan Provinsi Papua Barat, Papua Tengah dan Papua Timur. Dipulau Kalimantanpun sebenarnya pernah dideklarasikan oleh masyarakat untuk pembentukan Provinsi baru di Provinsi Kalimantan Tengah yaitu Provinsi Kotawaringin Raya (gabungan Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat). Namun kelihatannya baru terbatas sampai wacana dan tidak terekspos secara luas.
Berkaitan dengan keinginan tersebut, berbagai alasan dikemukakan untuk menuntut pembentukan Provinsi atau Kabupaten/Kota yang baru, diantaranya adalah alasan terlalu luasnya daerah (secara geografis), daerah memiliki potensi yang memadai secara ekonomi untuk membangun dirinya sendiri, adanya keinginan untuk mengelola sendiri pembiayaan pembangunan daerah, dan ingin memberikan pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat serta sejumlah alasan lainnya. Banyaknya tuntutan ini membuat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota induk sedikit kesulitan dalam memilih dan memilah mana yang harus diperhatikan terutama dalam kaitan penyediaan, pembenahan berbagai Kebijakan Pemerintah khususnya yang menyangkut dengan struktur organisasi pemerintahan dan DPRD baru bagi daerah yang telah resmi menjadi Provinsi dan Kabupaten/Kota yang baru (Jurnal Otonomi Daerah-Depdagri, 2000).
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, disebutkan bahwa pemekaran daerah berarti pemecahan wilayah daerah yang telah ada, dengan mempertimbangkan berbagai faktor di Daerah. Selanjutnya disebutkan pertimbangan faktor-faktor itu diantaranya adalah : (1)kemampuan ekonomi; (2)potensi daerah; (3)sosial budaya; (4)sosial politik; (5)jumlah penduduk; (6)luas daerah dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Tentunya tuntutan masyarakat untuk membentuk Daerah-Daerah baru harus mengacu kepada pertimbangan atau kriteria diatas, sebab apabila tidak maka Pemekaran Daerah hanya akan memberikan makna yang tidak penting dan tidak berarti bagi masyarakat. Sehubungan dengan pemekaran daerah ini H.A. Dj. Nihin (2000), mengatakan bahwa:
Aspirasi memekarkan daerah itu atas dasar pertimbangan yang tepat, misalnya dengan pemekaran daerah pusat pemerintahan dan pelayanan semakin dekat dengan masyarakat, partisipasi masyarakat akan bertambah dan lebih intensif dalam kehidupan kemasyarakatan, pemerintahan dan pembangunan didaerahnya. Sedangkan bila timbulnya aspirasi itu lebih karena emosional, primordialisme dan semata-mata hanya ingin menjadi Daerah Otonom sendiri, tidak atas dasar persyaratan yang tepat, tidak memperhitungkan potensi sumber daya yang ada, akan mempersulit kondisi masyarakat Daerah tersebut, dan tidak akan menjamin pengembangan Daerah kearah yang lebih baik, bahkan melemahkan tingkat ketahanan wilayah karena akan mendatangkan berbagai beban dan persoalan.
Kabupaten Aceh Barat yang merupakan bagian dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah salah satu dari sekian banyak daerah yang menuntut untuk membentuk Daerah Kabupaten yang baru dengan pola pemekaran daerah, Apabila diruntut dari proses pemekarannya, tuntutan ini bukanlah didasari atas euforia Otonomi Daerah atau primordialisme, tetapi berdasarkan pertimbangan yang logis sebagaimana daerah lain yang lebih dahulu resmi menjadi Kabupaten yang baru. Adapun dukungan yang sangat kuat bagi proses pemekaran terhadap Daerah Kabupaten Aceh Barat adalah: Pertama, adanya aspirasi masyarakat terutama dari kalangan tokoh ulama, tokoh masyarakat, pemuda, adat dan kesatuan wanita dalam daerah Pembantu Bupati Wilayah Calang dan Seunagan agar daerahnya dapat dibentuk Kabupaten baru yang definitif ; Kedua , adanya rekomendasi dari DPRD Kabupaten Aceh Barat melalui suratnya Nomor 135/1151/DPRD tanggal 29 Mei 2000 dan DPRD Propinsi NAD Nomor 138/8333 tanggal 20 Juni 2000 (Dokumen expose Bupati Aceh Barat tentang Pemekaran Daerah, 2001).
Dengan luas wilayah 10.104,66 km² dan penyebaran penduduk yang tidak merata berjumlah 507.098 jiwa (Kantor BPS Kab. Aceh Barat, 2002) daerah ini telah diusulkan untuk dimekarkan melalui peningkatan status administratif 2 wilayah Pembantu Bupati yaitu Pembantu Bupati Wilayah Calang dan Pembantu Bupati Wilayah Seunagan menjadi Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Nagan Raya. Proses pengusulannya melewati jalan yang sangat mulus dan disetujui oleh sidang Paripurna DPR-RI yang berlangsung dari tanggal 7 s/d 18 Maret 2002 (Kompas, 25 Pebruari 2002). Selanjutnya dengan persetujuan tersebut lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002 berkaitan dengan Pembentukan Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Nagan Raya beserta 3 buah Kabupaten baru lainnya di Propinsi NAD.
Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tersebut dengan jelas diatur tentang Batas-Batas Daerah, kewenangan Pemerintahan Daerah, pembentukan lembaga Legislatif, pembentukan lembaga Eksekutif pada Kabupaten yang baru dan pengangkatan dan mutasi PNS serta serah terima Asset Daerah (baik berupa barang kekayaan daerah, utang-piutang serta arsip atau dokumen penting).
Hingga saat ini Kebijakan Pemerintah yang mengatur pemekaran daerah di Kabupaten Aceh Barat telah berumur satu tahun diimplementasikan yaitu dari tanggal 10 April 2002 sebagai tanggal penetapannya. Namun kenyataan menunjukkan bahwa dari 5 kegiatan pokok yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 sebagai suatu rangkaian proses Pemekaran Daerah, hanya 3 kegiatan pokok yang baru dapat dilaksanakan. Diantara 3 kegiatan pokok yang telah dilaksanakan itupun ada diantaranya yang tidak tepat waktu, padahal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tersebut hanya memberikan limit waktu paling lama satu tahun bagi Pemerintah Daerah untuk menerapkannya. Misalnya saja di dalam pasal 15 disebutkan bahwa untuk memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten yang baru terbentuk, dipilih dan disahkan seorang Bupati dan Wakil Bupati paling lama satu tahun sejak terbentuknya Kabupaten tersebut. Namun kenyataan menunjukkan bahwa hingga penelitian ini dilakukan (Mei, 2003), proses Pemelihan Bupati dan Wakil Bupati yang definitif belum dilaksanakan.
Adapun perkembangan Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 seperti ditunjukkan oleh check-list berikut ini :
TABEL 1
CHECK-LIST PERKEMBANGAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DI KABUPATEN ACEH BARAT
NO
|
KEGIATAN |
PASAL |
PELAKSANAAN |
1. |
PERESMIAN KABUPATEN dan PELANTIKAN Pj. BUPATI(Paling lambat 1 bulan setelah diundangkan)
|
16 |
TELAH DILAKSANAKANTanggal 20 April 2002 di Jakarta |
2. |
PEMBENTUKAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH
|
17 |
TELAH DILAKSANAKANTanggal 29 September 2002
|
3. |
PEMBENTUKAN DPRD(Paling lambat 6 bulan setelah peresmian Kabupaten)
|
13 |
TELAH DILAKSANAKANTanggal 28 Maret 2003
|
4. |
PEMILIHAN BUPATI / WAKIL BUPATI DEFINITIF(Paling lambat 1 tahun setelah peresmian Kabupaten)
|
15 |
BELUM DILAKSANAKAN |
5. |
SERAH TERIMA ASSET DAERAH(Paling lambat 1 tahun setelah peresmian Kabupaten)
|
18 |
BELUM DILAKSANAKAN |
Sumber : Dihimpun dari Dokumen Pemekaran Daerah Kabupaten Aceh Barat,
Hingga awal Mei 2003.
No comments:
Post a Comment