1.1 Latar Belakang
Sehubungan dengan kecenderungan cepatnya perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini, memiliki implikasi terhadap percepatan perubahan perilaku masyarakat, terutama yang berkaitan dengan tuntutan keinginan adanya transparansi pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah, demokratisasi dalam pengambilan keputusan, pemberian pelayanan oleh pemerintah yang lebih berorientasi pada kepuasan masyarakat dan penerapan hukum secara konsekuen. Sebagai konsekuensinya maka pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sejak Bulan Januari tahun 2001.
Dengan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut telah membuka era baru bagi pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia, maka tugas dan tanggung jawab yang harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah bertambah banyak. Seperti yang dikemukanan oleh Darumurti dan Rauta (2000 : 49) bahwa implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah, dapat merupakan berkah bagi daerah namun pada sisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut sekaligus juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk melaksanakannya, karena semakin bertambahnya urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Untuk itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan yaitu, sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana.
Dengan menyimak pandangan yang diungkapkan oleh Pamudji menegaskan bahwa Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan (lihat Kaho, 1998 : 124). Dan keuangan inilah yang merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumahtangganya sendiri. Dengan demikian masalah keuangan merupakan masalah penting dalam setiap kegiatan pemerintah di dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah karena tidak ada kegiatan pemerintah yang tidak membutuhkan biaya, selain itu faktor keuangan ini merupakan faktor penting di dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Kemampuan daerah yang dimaksud dalam pengertian tersebut adalah sampai seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangan sendiri guna membiayai kebutuhannya tanpa harus selalu menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi Pemerintah Pusat.
Musgrave dan Musgrave (1993 : 6 – 13) mengemukakan bahwa pesatnya pembangunan daerah menuntut tersedianya dana bagi pembiayaan pembangunan yang menyangkut perkembangan kegiatan fiskal yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi sumber-sumber pembiayaan yang semakin besar. Tatanan pemerintah yang mengarah pada diperluasnya otonomi daerah, menuntut kemandirian daerah di dalam mengatur dan menetapkan kebijakan pemerintahan di daerah menurut prakasa dan aspirasi masyarakat. Untuk mempersiapkan kemandirian daerah tersebut, yang harus dilakukan daerah adalah dengan memperkuat struktur perekonomiannya sehingga pemerintah daerah harus dapat memiliki sumber-sumber keuangan yang memadai. Untuk itu pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola dan menggali sumber-sumber keuangannya agar dapat membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Kemandirian keuangan daerah ini tidak diartikan bahwa setiap pemerintah daerah harus dapat membiayai seluruh kemampuannya dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena di samping dari PAD masih ada penerimaan lain sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah disebutkan bahwa sumber penerimaan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Sejalan dengan undang-undang tersebut maka pemerintah daerah dituntut untuk dapat meningkatkan pendapatannya di dalam pelaksanaan pembangunan daerah, sementara itu sumber pendapatan asli daerah untuk membiayai belanja daerah masih sangat rendah sehingga kemampuan pemerintah daerah untuk menyediakan dana pembangunan sangat terbatas, untuk menutupi kekurangan dana tersebut maka pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menggunakan dana pinjaman. Penggunaan dana pinjaman daerah ini sebagai salah satu sumber pilihan pembiayaan pembangunan di masa yang akan datang akan memegang peranan penting dan membuka peluang bagi daerah untuk melakukan pinjaman dari pihak luar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menurut Devas dkk (1999 : 223) pinjaman pemerintah daerah di
Jakarta sebagai Ibukota Negara, merupakan pusat kegiatan pemerintahan Nasional, Politik, Hankam dan pintu gerbang utama negara. Secara geografis maupun fungsional Jakarta merupakan pusat pembangunan wilayah sekitarnya. Sebagai Propinsi DKI Jakarta mempunyai kedudukan yang sama dengan Propinsi Tingkat I lainnya, namun tidak terbagi atas Dati II di bawahnya. Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta bahwa pemberian otonomi di DKI Jakarta hanya pada lingkup propinsi agar dapat membina dan menumbuh kembangkan Jakarta dalam satu kesatuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Dengan demikian, diharapkan Jakarta akan mampu memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan terpadu kepada masyarakat. Karena Pemerintah Daerah DKI Jakarta tidak memiliki sumber daya alam untuk di eksploitasi, dan Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota negara di mana perkembangan dan pertumbuhan kotanya yang sangat cepat, maka menuntut Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk dapat memikul tanggung jawab di dalam pelaksanaan pembangunan daerah di ibukota, sehingga pemerintah daerah harus dapat menyediakan anggaran/dana investasi yang sangat besar, maka salah satu sumber pendapatan daerah yang bisa digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan adalah dengan menggunakan dana pinjaman daerah, walaupun Pendapatan Asli Daerah (PAD) tetap menjadi tulang punggung tetapi paling tidak pinjaman daerah ini dapat mempercepat proses pembangunan yang dilaksanakan oleh daerah. Karena pinjaman daerah ini dapat digunakan untuk membiayai proyek yang bersifat cost recovery khususnya untuk kepentingan pelayanan masyarakat sehingga dapat meningkatkan pembangunan dan perekonomian daerah.
Seperti yang dikemukakan Devas dkk (1999: 222) pinjaman daerah dibenarkan atas dasar dua pertimbangan :
1. dengan cara meminjam dana untuk menanam modal, pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan di wilayahnya, dibandingkan dengan jika kegiatan pembangunan hanya bergantung pada penerimaan berjalan;
2. karena manfaat penanaman modal baru dapat dipetik setelah jangka waktu yang panjang, maka sudah sepatutnya jika biaya dipikul oleh mereka yang akan menikmati manfaatnya di masa datang.
Selain itu dengan cara meminjam daerah dapat meningkatkan kemampuan pemerintah daerah untuk menggali Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) yang pada gilirannya dapat meningkatkan kemampuan daerah membayar kembali pinjamannya. Namun untuk menentukan apakah suatu daerah tersebut layak atau tidak untuk melakukan pinjaman, diperlukan adanya analisis untuk menghitung kemampuan keuangan daerah dan menentukan besarnya pinjaman, serta batas maksimum pinjaman yang diperbolehkan. Karena pinjaman daerah ini berbeda dengan Pedapatan Asli Daerah seperti pajak dan restribusi, dalam pinjaman ini terdapat kewajiban dari pemerintah daerah untuk mengembalikan berupa angsuran pokok pinjaman yang disertai dengan bunga, biaya administrasi dan denda, sehingga pemerintah daerah harus hati-hati apabila akan melakukan pinjaman. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini menganalisis bagaimanakah kemampuan keuangan Pemerintah Daerah DKI Jakarta di dalam melakukan pinjaman, dan seberapa besar pinjaman yang layak yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta.
1.2 Keaslian Penelitian
Menurut Riphat dan Hutahaean (1997) yang menganalisis tentang pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan, ada 3 (tiga) aspek penting yang berhubungan dengan kebijaksanaan pinjaman daerah yang selama ini terus dikembangkan meliputi; (i) penyediaan dana pinjaman yang lebih besar untuk pembiayaan proyek yang bersifat cost recovery, (ii) peningkatan kemampuan pemerintah daerah menggali Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) yang pada gilirannya meningkatkan kemampuan daerah membayar kembali pinjaman, (iii) dan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam memutuskan jenis investasi dan cara pembiayaannya, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Menurutnya peranan pinjaman daerah sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah dewasa ini masih relatif kecil, namun memiliki peluang yang sangat besar untuk ditingkatkan. Peluang tersebut antara lain tercermin dari karakteristik pinjaman yang memberikan otonomi atau kebebasan kepada daerah untuk melaksanakan pembangunan di daerah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Menurut Kim (1997 : 167) yang telah melakukan penelitian di Korea selama periode 1970 sampai dengan 1991 menyimpulkan bahwa peranan sektor-sektor publik lokal di kawasan pertumbuhan ekonomi regional di negara korea adalah pertama peranan pemerintah daerah pada pertumbuhan ekonomi regional telah menjadi sangat signifikan, pungutan pajak lokal dan pendapatan daerah tidak kena pajak memiliki efek negatif pada tingkat pertumbuhan ekonomi, konsumsi pemerintah daerah secara khusus cenderung berdampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Dampak secara netto sektor umum daerah memberi tingkat pertumbuhan ekonomi regional sebesar 14,4%. Kedua peranan pemerintah dalam faktor pendorong berdampak ganda (multiplier effect), di mana investasi pemerintah daerah jauh lebih besar daripada konsumsi pemerintah daerah.
Ramirez (1998) melakukan penelitian investasi publik di Mexico mengenai efek pengeluaran investasi publik terhadap pertumbuhan ekonomi dan produktivitas, dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa investasi pemerintah di bidang infrastruktur dan investasi swasta berpengaruh positif terhadap produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya pengurangan konsumsi pemerintah dapat menekan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Yulinawati (1999) telah melakukan penelitian mengenai dampak pinjaman daerah terhadap Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) dan PDRB di Kabupaten Lampung Tengah dan Joestamadji (2000) mengenai dampak pinjaman daerah terhadap PAD dan PDRB di Kota Surabaya dari kedua penelitian tersebut menunjukan bahwa pinjaman daerah mempunyai pengaruh yang positif terhadap PAD dan PDRB. Selanjutnya Lutfiati (2000) yang melakukan penelitian mengenai kemampuan keuangan daerah di dalam melakukan pinjaman di Kabupaten Kediri. Dari hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa keuangan daerah Kabupaten Kediri mampu memberikan dana netto yang disisihkan untuk membayar pokok dan bunga pinjaman sehubungan dengan pelaksanaan pembangunannya.
Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya terlihat bahwa penelitian tersebut tidak meneliti secara khusus mengenai kemampuan keuangan daerah untuk melakukan pinjaman, hanya penelitian yang dilakukan oleh Lutfiati saja yang mengkaji secara khusus kemampuan keuangan daerah di dalam melakukan pinjaman. Namun demikian mengacu kepada penelitian tersebut dalam penelitian ini terdapat perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada daerah di mana penelitian ini dilakukan yaitu Propinsi DKI Jakarta dan periode waktu penelitian yang dilaksanakan.
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. untuk mengetahui kemampuan keuangan Pemerintah Daerah DKI Jakarta di dalam melakukan pinjaman yang telah dilakukan;
2. untuk menentukan besarnya pinjaman yang layak yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun 2001-2005.
1.3.2 Manfaat penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :
1. diharapkan dapat bermanfaat bagi para pengambil keputusan di lingkungan Pemerintah DKI Jakarta dalam memperkaya kajian tentang keuangan daerah khususnya mengenai kemampuan keuangan dalam melakukan pinjaman daerah sebagai salah satu sumber investasi untuk membiayai pelaksanaan pembangunan.
2. sebagai bahan masukan dan informasi bagi Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam memberi arah atau alternatif kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan pinjaman daerah.
No comments:
Post a Comment