Kondisi tersebut akan berdampak terhadap tingginya biaya operasional dan tidak seimbang dengan penerimaan yang diperoleh dari pembelian listrik oleh pelanggan. Hal ini akan mengakibatkan PLN sulit berorientasi pada propit, tetapi lebih bersifat pelayanan, sementara persediaan keuangan negara untuk subsidi pun terbatas, sehingga dari segi kualitas, pemadaman bergilir hampir setiap saat dialami pelanggan/masyarakat, demikian pula dari segi kuantitas, masih banyak daerah yang belum dapat dijangkau oleh jaringan listrik PLN. Publikasi BPS melalui data PODES (Potensi Desa), 2003 tercatat sebanyak 3.287 Kampung di Papua, termasuk Papua Barat yang mendapat jaringan listrik hanya sekitar 29 %, sisanya 71 % entah sampai kapan bisa meperoleh pula kesempatan untuk menikmati listrik sebagai barang publik
Dengan perkembangan inovasi PLTA yang terus berproses, baik dari inovasi teknologi maupun inovasi sistimnya, dan melihat secara umum geografi daerah Papua di wilayah Propinsi Papua Barat, dimana tersedia sumberdaya air yang cukup memadai, maka dimungkinkan Pembangkit Lisrtrik Tenaga Mikrohodro (PLTMH) dapat menjadi solusi terhadap keterbatasan suplai listrik di Pulau Papua, termasuk Papua Barat., baik untuk masa sekarang bahkan masa mendatang. Dari sisi pengelolaan PLTMH, dengan item-item pengoperasian serta pemeliharaannya yang relatif sederhana, maka dimungkinkan pula masyarakat dapat membentuk suatu wadah untuk menangani langsung pengelolaannya. Ini pun setidaknya menjadi akses menciptakan rasa memiliki dari masyarakat dan membangun modal sosial masyarakat.
Seperti diketahui sebegitu besar harapan-harapan yang dinantikan dari program-program yang dicanangkan dan dilaksanakan di Papua, berujung kepada terjadinya perubahan perilaku, dan pada akhirnya peningkatan kesejahteraan masyarakat, terlebih dalam mengejar ketertinggalannya/kesenjangan dari saudara sebagsa dalam bingkai NKRI. Sedemikian juga akan memperkecil peluang terjadinya krisis integrasi bangsa. Suatu ketika, tahun 2001 saat Penulis melakukan survey geologi di salah satu kampung yang terpencil di pedalaman Kepala Burung Papua, Seorang Tete (istilah Kakek/Nenek untuk bahasa Papua) bertanya ” Ana.., kita orang ini masih Indonesia kah ?, kalo begitu yang presiden kitong yang sekarang seperti apakah, yang kitong liat ada gambar itu hanya ada Sukarno lalu yang bapak Suharto itu, lalu .... ada yang lain lagi kah.. ?”. Demikian keterisolasian suatu kampung di Papua sehingga tidak dapat mengakses informasi dengan memadai.