1.1 Latar Belakang
Pembangunan dalam tiga dasawarsa di negara sedang berkembang menunjukkan bahwa yang terjadi adalah rakyat dilapisan bawah tidak senantiasa dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan, bahkan dibanyak negara kesenjangan sosial ekonomi makin melebar. Kenyataan ini, membuktikan bahwa strategi pembangunan yang terlalu “GNP-oriented” tidak memberikan pemecahan mengenai masalah kemiskinan (keterbelakangan). Todaro (1997 :14) menyatakan bahwa tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain upaya menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, pembangunan harus pula berupaya untuk menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran atau upaya menciptakan kesempatan kerja bagi penduduk, karena dengan kesempatan kerja penduduk atau masyarakat akan memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Arsyad (1999:108) menyatakan pembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah (daerah) dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah (daerah) dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja atau kesempatan kerja berdasarkan pertumbuhan ekonomi. Kesempatan kerja merupakan peluang bagi penduduk untuk melaksanakan fungsinya sebagai sumber daya ekonomi dalam proses produksi untuk memperoleh pendapatan, dan dari pendapatan ini selanjutnya akan menimbulkan daya beli masyarakat serta menimbulkan pasar yang cukup besar yang pada akhirnya penduduk akan memperoleh kesejahteraan (Soeroto, 1986:31).
Syafrizal (1997:27-38) menyatakan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, kebijakan utama yang perlu dilakukan adalah mengusahakan semaksimal mungkin potensi yang dimiliki oleh propinsi (daerah) yang bersangkutan, mengingat potensi masing-masing daerah bervariasi maka sebaiknya masing-masing daerah harus menentukan kegiatan sektor dominan (unggulan). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melihat spesialisasi dan daya saing untuk meningkatkan keunggulan komparatif (comparative advantage) suatu sektor ekonomi disuatu daerah adalah melalui rasio kontribusi dan rasio pertumbuhan masing-masing sektor disuatu daerah terhadap jumlah output total (PDRB) di wilayah studi dan di wilayah referensinya (Yusuf, 1999:219-233).
Perubahan politik akhir-akhir ini nampaknya menciptakan peluang-peluang bagi kehidupan sosial ekonomi. Hal tersebut setidaknya tercermin dari lahirnya paket perundangan yang terdiri dari Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Garis besar yang ingin dicapai adalah motivasi dan komitmen untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan struktural, beragam distorsi dan pelanggaran hukum, sementara ruang lingkup ( dan harapan ) spesifik yang hendak dituju adalah mengalirnya investasi efektif, bergairahnya aktivitas perekonomian, dan meningkatnya kesejahteraan diseluruh penjuru wilayah dengan didukung oleh good governance (Nugroho, 2000:103). Implikasi terpenting bagi daerah dengan diberlakukannya kedua Undang-undang tersebut adalah daerah memiliki wewenang dan tanggungjawab untuk mengatur, mengelola dan mengembangkan potensi ekonomi secara mandiri, sehingga ketimpangan distribusi pendapatan antar masyarakat secara bertahap dapat diperkecil.
Wewenang dan tanggungjawab yang besar tersebut harus seimbang dengan sumber pendapatan yang memadai agar sejumlah urusan yang didesentralisasikan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Kenyataanya, berdasarkan Undang-undang nomor 25 tahun 1999, khususnya menyangkut dana perimbangan yang diharapkan mampu mendukung pelaksanaan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 masih diragukan kemampuannya. Apakah besar dana ini menjamin pelaksananaan urusan yang diserahkan ke daerah secara efisien?.
Di sisi lain, otonomi menuntut kemandirian daerah diberbagai bidang, termasuk kemandirian dalam mendanai pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Kabupaten Lampung Utara, jika dilihat dari kemandirian dalam pendanaan pembangunan mungkin masih perlu dipertanyakan. Dilihat dari kemampuan pendapatan asli daerah (PAD), dimana rata-rata kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah Kabupaten Lampung Utara selama periode tahun anggaran 1993/1994-1997/1998 adalah sebesar 4,14 % pertahun. Dengan kata lain, Kabupaten Lampung Utara hanya mampu mendanai sebesar rata-rata 4,14 % saja dari total kebutuhannya atau tingkat ketergantungan fiskal terhadap penerimaan dari sumbangan dan bantuan pusat atau propinsi Lampung masih sangat tinggi. Jelasnya lihat tabel 1.1.
Tabel 1.1 Rasio PAD Terhadap Penerimaan Daerah
Kabupaten Lampung UtaraTahun Anggaran 1993/1994-1997/1998
Tahun | Penerimaan Daerah (Rupiah) | PAD (Rupiah) | PAD/Penerimaan (Rasio) |
1993/1994 | 60.627.343.000 | 3.512.305.000 | 5,79 |
1994/1995 | 67.113.882.000 | 2.719.181.000 | 4,05 |
1995/1996 | 75.505.334.000 | 2.940.752.000 | 3,89 |
1996/1997 | 77.127.608.000 | 3.143.326.000 | 4,07 |
1997/1998 | 90.735.591.000 | 2.635.012.000 | 2,90 |
Rerata | | | 4,14 |
Sumber : Dispenda Kabupaten Lampung Utara, Realisasi Penerimaan Daerah Tahun Anggaran 1993/1994-1997/1998 (diolah).
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis mengangkat permasalahannya adalah PAD yang dimiliki Kabupaten Lampung Utara masih rendah. Hal ini menyebabkan penerimaan yang dibutuhkan untuk membiayai pembangunan masih sangat tergantung pada penerimaan yang bersumber dari sumbangan dan bantuan pemerintah pusat atau propinsi. Oleh karena itu untuk meningkatkan kemandirian daerah perlu dilihat pajak-pajak daerah yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan PAD melalui komponen penerimaan pajak daerah berbasis konsumsi yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi.
1. 2 Keaslian Penelitian
Secara kuantitas studi empiris mengenai pertumbuhan ekonomi yang dihubungkan dengan pajak pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain : Miller dan Russex (1997) meneliti tentang pengaruh struktur fiscal terthadap pertumbuhan ekonomi nasional dan lokal di Amerika Serikat, alat analisis yang digunakan adalah random effects model. Hasil penelitiannya menyimpulkan penerimaan pajak berpengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi apabila penerimaan pajak digunakan untuk membangun infrastruktur, sebaliknya bepengaruh negatip apabila digunakan untuk transfer payment.
Kneller dkk., (1999) meneliti tentang pengaruh kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada 22 negara anggota organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan (OECD), alat analisis yang digunakan adalah random effects model. Hasil penelitian menyimpulkan penerimaan pajak distortionary berpengaruh negatip terhadap pertumbuhan ekonomi, sebaliknya penerimaan pajak non-distortionary bepengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah yang bersifat produktif berpengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi, sebaliknya berpengaruh negatip.
Yusuf (1999) menganalisis tentang deskripsi kegiatan ekonomi potensial terutama struktur ekonomi wilayah Bangka-Belitung yang menekankan pada kriteria pertumbuhan baik secara eksternal/wilayah referensi (Propinsi Sumatera Selatan) maupun internal/wilayah studi (Wilayah Bangka-Belitung) dan melakukan analisis lebih jauh yaitu dengan wilayah referensi (Bangka-Belitung) dan wilayah studi (Kabupaten Bangka, Belitung, Pangkal Pinang). Dalam penelitian tersebut Yusuf menggunakan variabel PDRB persektor dengan menggunakan alat analisis model rasio pertumbuhan (MRP), yang merupakan modifikasi dari model analisis shift and share untuk melihat kriteria pertumbuhan, dan mengikutsertakan analisis location quetiont untuk melihat kriteria kontribusi. Dari kedua alat analisis tersebut kemudian dilakukan overlay sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan potensi ekonomi dari suatu wilayah.
1 comment:
Assalamualaikum, jurnalnya sangat bermanfaat, saya ingin mrngetahui bagaimana rumus menghitung potensi PBB di tiap daerah ?, bisakah di beri tahu?
Post a Comment