Kami memberi bantuan dengan menyediakan bahan-bahan tesis gratis yang berguna untuk menambah referensi anda dalam penyusunan tesis. Tesis yang kami sediakan yaitu mengenai masalah pemerintahan, pembangunan daerah, kemasyarakatan, serta managemen

Cara bertranksaksi :

1. SMS, judul yang anda pilih pada Daftar Judul Tesis dan alamat email anda untuk pengiriman file

2. kirim/transfer biaya tesis (Rp. 120.000,-*) ke :

3. SMS lagi bahwa anda telah melakukan transfer

4. kemudian kami cek ke rekening dan segera mengirimkan email berisi tesis pesanan anda


Harganya sama halnya bila anda mencopynya dalam bentuk kertas di perpustakaan, tapi kelebihannya kami menyediakan dalam bentuk file word dan pdf, sehingga mempermudah anda dalam membaca di komputer atau di laptop.

Terima kasih telah menjadikan tesis tersebut sebagai bahan referensi bukan sebagai bahan jiplakan. kami tidak mendukung plagiat, bahan tersebut disediakan sebagai referensi dalam penulisan tugas akhir, bila anda merasa keberatan karyanya kami tampilkan dan menjadi bahan referensi bagi para peneliti lainnya, bisa kami hapus dari daftar ini, silahkan hubungi ke alamat email

*biaya tsb hanya sebagai pengganti biaya maintenance weblog, pencarian bahan, operasional pulsa dan connecting internet

Friday, February 29, 2008

16. REKONSTRUKSI ANGGARAN BELANJA PEMBANGUNAN KABUPATEN PONTIANAK DALAM SUATU MODEL AKUNTANSI BIAYA SEKTOR PUBLIK

1.1 Latar Belakang

Pengelolaan anggaran daerah telah menjadi perhatian utama bagi para pengambil keputusan dalam pemerintahan di era reformasi ini. Pemerintah telah melakukan perubahan penting dan mendasar yang dimaksudkan untuk mengakomodasikan berbagai tuntutan dan aspirasi yang berkembang di daerah dan masyarakat. Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 diharapkan membawa perubahan fundamental dalam hubungan tata pemerintahan dan hubungan keuangan, sekaligus membawa perubahan penting dalam pengelolaan anggaran daerah.

Salah satu pergeseran pengelolaan APBD berdasarkan PP No. 105/2000 adalah timbulnya perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintahan. Inti perubahan ini adalah tuntutan dilaksanakannya “akuntansi” dalam pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota, bukan “pembukuan” seperti yang dilaksanakan selama ini (Halim, 2002:5). Pergeseran terhadap pengelolaan keuangan daerah menuntut kemandirian daerah mengatur rumahtangganya dengan berbagai strategi, alokasi dan perioritas belanja.

Lemahnya perencanaan pengalokasian belanja memunculkan ketidakefisienan kinerja pemerintahan, sehingga ada unit kerja yang kelebihan pembiayaan, ada pula unit kerja yang kekurangan pembiayaan. Unit kerja yang kelebihan pembiayaan mengakibatkan efisiensi menjadi rendah. Hal ini berdampak pada perekonomian daerah umumnya dan keuangan daerah pada khususnya. Unit kerja yang kekurangan pembiayaan mengakibatkan efektivitas menjadi rendah untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diamanatkan dalam tugas pokok dan fungsi (Tupoksi).

Pengelolaan keuangan demikian mengakibatkan keuangan daerah mengalami tekanan yang berat, apalagi dalam kondisi krisis ekonomi mengakibatkan semakin besarnya kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang disebabkan pula oleh kapasitas fiskal daerah (local fiscal capasity) yang semakin rendah sejalan dengan turunnya aktivitas ekonomi sektor riil. Di satu sisi sumber pendapatan daerah yang berasal dari pemerintah pusat atau pemerintah atasannya semakin terbatas, di sisi lain kebutuhan fiskal (fiscal need) bertambah terus. Selain itu, belanja pemerintah daerah menjadi semakin besar karena kenaikan harga-harga barang. Kemudian beratnya beban pemerintah daerah dalam menjalankan peran ganda yang disebabkan melemahnya peran swasta dalam menjalankan aktivitasnya.

Permasalahan dalam belanja rutin daerah saat ini adalah kebijakan tentang pegawai negeri yang dilimpahkan dari pusat ke daerah, restrukturisasi instansi dan mereorganisasi tata kerja mengakibatkan pemerintah daerah membelanjakan sebagian besar anggarannya untuk belanja rutin. Akibatnya, alokasi dana untuk belanja pembangunan menjadi

sangat terbatas (IRDA dalam Kompas, 1 Maret 2002:6).

Permasalahan yang ada dalam belanja pembangunan dapat dilihat

dari dua segi (PAU-SE UGM, 2000: 20). Pertama, dari segi bentuk dan strukturnya, komponen belanja pembangunan di seluruh pemerintah daerah diseragamkan menjadi dua puluh komponen pengeluaran. Kedua, dari segi alokasi dana masih belum dilandasi oleh indikator kinerja yang jelas. Satu-satunya indikator kinerja yang dipakai adalah aturan bahwa jumlah dana untuk belanja pembangunan adalah jumlah dana maksimal yang dapat dibelanjakan untuk setiap pos belanja pembangunan. Karena indikator kinerja lainnya tidak ada, maka dasar evaluasi belanja pembangunan adalah menggunakan rata-rata proporsi dana yang dialokasikan dalam kelompok belanja pembangunan.

Sampai saat ini, pada APBD kabupaten/kota di Indonesia masih terdapat ketidakjelasan kategori anggaran rutin dengan anggaran pembangunan. Akibat dari hal itu maka terdapat kegiatan yang saling ‘menyelusup’ dan kebanyakan dari rutin ke pembangunan (Tambunan, 1997:10). Selain itu, ditemukan jenis biaya yang terdapat pada kedua anggaran tersebut dan cenderung tumpang tindih, antara lain biaya pemeliharaan; biaya upah, honorarium dan lembur; biaya perjalanan; biaya umum/belanja barang. Hal tersebut terjadi pula pada APBD Kabupaten Pontianak.

Melihat kerancuan antara belanja rutin dengan pembangunan, tampak adanya indikasi bahwa belanja rutin sebagian telah diakomodasikan oleh belanja pembangunan, antara lain melalui proyek. Selain itu, karena adanya kelangkaan dana rutin maka beberapa kegiatan yang seharusnya bersifat

rutin harus diatasi oleh kegiatan pembangunan (Nugroho, 1997:66).

Gambaran perkembangan belanja pembangunan dibandingkan dengan belanja rutin dari total belanja pada APBD Kabupaten Pontianak disa-jikan pada tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1

Pengeluaran Daerah untuk Belanja Rutin dan Pembangunan

APBD Kabupaten Pontianak, 1997/1998 – 2001

Tahun

Belanja (dalam juta Rp)

Belanja (dalam %)

Total Belanja

Anggaran

Rutin non-

Pembangunan

Rutin non-

Pembangunan

Non pegawai

Pegawai

pegawai

(dalam juta Rp)

1997/1998

7.523

31.822

19,12

80,88

39.354

1998/1999

8.575

33.926

18,85

81,15

45.501

1999/2000

11.495

56.340

16,95

83,05

67.835

2000

12.155

50.508

19,40

80,60

62.663

2001

28.034

42.072

39,99

60,01

70.106

Sumber: BPKKD Kabupaten Pontianak, Ringkasan APBD 1997/1998 – 2001, 2001 (diolah)

Apabila diperhatikan, dinamika belanja pembangunan pada tahun anggaran 1997/1998 mencapai 80,88% dibanding belanja rutin (non pegawai) 19,12%. Pada tahun 1998/1999 belanja pembangunan meningkat sedikit menjadi 81,15% dan belanja rutin turun menjadi 18,85%. Kenaikan belanja pembangunan terus berlanjut hingga tahun anggaran 1999/2000 sebesar 83,05%. Namun pada tahun anggaran 2000 proporsi belanja pembangunan mengalami penurunan menjadi 80,60% dan semakin menurun hingga menjadi 60,01% pada tahun anggaran 2001.

Secara operasional pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan

daerah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000

Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pasal 8 PP tersebut menegaskan bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja.

Titik berat perhatian pada sistem anggaran kinerja diletakkan pada segi manajemen anggaran, yaitu dengan memperhatikan baik dari segi ekonomi dan keuangan pelaksanaan anggaran, maupun hasil fisik yang dicapainya (Baswir, 1997:29). Lebih jauh Baswir mengemukakan bahwa untuk menilai efisiensi pelaksanaan setiap kegiatan, maka prosedur anggaran ini dikaitkan secara ketat dengan sistem akuntansinya, terutama sistem akuntansi biaya.

Tentang konsep biaya menurut akuntansi biaya yang dikemukakan oleh Halim (1996:3) dikatakan bahwa biaya dalam pengertian yang luas merupakan pengorbanan yang telah terjadi atau mungkin akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya pendekatan ini perlu dilakukan terhadap upaya mengidentifikasi belanja pemerintah daerah, mengingat akuntansi biaya dalam tujuannya yang lebih luas, di samping untuk pengumpulan dan pelaporan biaya juga untuk perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan oleh manajemen (Halim, 1996:4).

Halim (2002:72) mengatakan bahwa belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan. Selanjutnya belanja modal dibagi menjadi: 1. belanja publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masya-

rakat umum. Contoh belanja publik: pembangunan jembatan dan jalan raya, pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans; 2. belanja aparatur, yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Contoh belanja aparatur: pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan, dan pembangunan rumah dinas.

Definisi belanja modal di atas mempunyai kesamaan dimensi (dimensi investasi) dengan definisi belanja pembangunan. Belanja pembangunan diartikan sebagai pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan menambah aset atau kekayaan bagi daerah, yang selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya. Berdasarkan kesamaan dimensi tersebut, data berupa 61 proyek/DIPDA tahun 2001 dalam anggaran belanja pembangunan Kabupaten Pontianak yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 direkonstruksi dalam suatu model akuntansi biaya sektor publik, ke dalam belanja modal yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000.

Berkenaan dengan permasalahan belanja daerah, khususnya belanja pembangunan daerah Kabupaten Pontianak, maka pertanyaannya adalah model penentuan rencana bagaimana yang dilakukan agar belanja pemerintah daerah dapat diukur akuntabilitas publiknya. Dalam hal tersebut jawaban yang dapat dikemukakan adalah dengan model penentuan rencana belanja yang dapat memberikan manfaat:

1. pemerintah daerah dapat menentukan kewajaran biaya rutin maupun pembangunan untuk melaksanakan suatu kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;

2. menghindari adanya tumpang tindih belanja rutin dan belanja pembangunan;

3. penentuan anggaran berdasarkan tolok ukur kinerja yang jelas sehingga kemungkinan terjadinya pengeluaran investasi yang kurang tepat sasaran dapat dihindari.

Selanjutnya atas model penentuan anggaran belanja yang disampaikan, maka permasalahan dapat dirumuskan secara lebih sederhana, yaitu: belum adanya pembedaan yang jelas antara belanja rutin dan belanja pembangunan, sektor aparatur dan sektor publik dalam anggaran belanja pembangunan Kabupaten Pontianak.

No comments: