Kami memberi bantuan dengan menyediakan bahan-bahan tesis gratis yang berguna untuk menambah referensi anda dalam penyusunan tesis. Tesis yang kami sediakan yaitu mengenai masalah pemerintahan, pembangunan daerah, kemasyarakatan, serta managemen

Cara bertranksaksi :

1. SMS, judul yang anda pilih pada Daftar Judul Tesis dan alamat email anda untuk pengiriman file

2. kirim/transfer biaya tesis (Rp. 120.000,-*) ke :

3. SMS lagi bahwa anda telah melakukan transfer

4. kemudian kami cek ke rekening dan segera mengirimkan email berisi tesis pesanan anda


Harganya sama halnya bila anda mencopynya dalam bentuk kertas di perpustakaan, tapi kelebihannya kami menyediakan dalam bentuk file word dan pdf, sehingga mempermudah anda dalam membaca di komputer atau di laptop.

Terima kasih telah menjadikan tesis tersebut sebagai bahan referensi bukan sebagai bahan jiplakan. kami tidak mendukung plagiat, bahan tersebut disediakan sebagai referensi dalam penulisan tugas akhir, bila anda merasa keberatan karyanya kami tampilkan dan menjadi bahan referensi bagi para peneliti lainnya, bisa kami hapus dari daftar ini, silahkan hubungi ke alamat email

*biaya tsb hanya sebagai pengganti biaya maintenance weblog, pencarian bahan, operasional pulsa dan connecting internet

Friday, February 29, 2008

EVALUASI KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH PROVINSI JAMBI

Latar Belakang

Pada prinsipnya otonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, baik dilihat dari aspek administrasi maupun dilihat dari aspek keuangannya. Hal ini ditandai dengan adanya pergeseran peran pemerintah pusat dari posisi sentral (sentralistik) dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan kepada peningkatan kemandirian daerah (desentralistik).

Hal ini dipertegas lagi dengan adanya regulasi pokok atas desentralisasi yang terangkum dalam tiga undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah serta Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Ditetapkannya ketiga undang-undang tersebut telah memberikan kekuatan baru bagi pengembangan otonomi pemerintah daerah, di mana terdapat kejelasan arah yang ingin dicapai dan fleksibilitas yang diberikan sudah lebih besar dari yang sebelumnya. Artinya, daerah sudah diberi kewenangan yang utuh dan bulat untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengendalikan serta mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah.

Ketiga Undang-undang tersebut juga diharapkan akan lebih menekankan kepada mekanisme yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah dalam bidang keuangan, karena dengan kewenangan tersebut uang akan dapat dicari semaksimal mungkin (follow function) dengan memperhatikan potensi daerah serta kemampuan aparat pemerintah untuk mengambil inisiatif guna menemukan sumber-sumber keuangan yang baru. Kewenangan yang luas bagi daerah akan dapat menentukan mana sumber dana yang dapat digali dan mana yang secara potensial dapat dikembangkan (Gaffar, 2000: 43-44).

Darumurti dan Rauta (2000: 49) mengemukakan implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintah yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah, di satu sisi dapat merupakan berkah bagi daerah, namun pada sisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut sekaligus juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk melaksanakannya, karena semakin bertambahnya urusan pemerintah yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Untuk itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan yaitu aspek sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana. Hal ini sejalan dengan pendapat Kaho (1997: 246–256) yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan kesesuaian antara prinsip dan praktek penyelenggaraan otonomi daerah, maka terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan yaitu pertama, faktor manusia pelaksana, kedua, faktor keuangan, ketiga, faktor peralatan dan keempat, faktor organisasi dan manajemen. Keempat faktor inilah yang sangat menentukan prospek otonomi daerah di masa yang akan datang.

Sejalan dengan itu, untuk menjalankan fungsi pemerintahan atau kegiatan pemerintahan, faktor keuangan merupakan suatu hal yang sangat penting, karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya (uang). Semakin besar jumlah uang yang tersedia semakin banyak pula kemungkinan kegiatan atau pekerjaan yang dapat dilaksanakan (Kaho, 1997: 61). Apalagi dalam menghadapi pelaksanaan otonomi daerah yang telah dimulai pada saat ini. Pamudji (1982: 72) menyatakan bahwa keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Kemampuan daerah dimaksud dalam arti sampai seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangan sendiri guna membiayai kebutuhannya tanpa harus selalu menggantungkan diri pada bantuan atau subsidi pemerintah pusat (Kaho, 1997: 124), oleh karena itu kalau daerah tidak mempunyai sumber-sumber keuangan yang cukup, akibatnya akan tergantung terus kepada pemerintah pusat (Prabowo, 1999: 4).

Menurut Kaho (1997: 125), salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Ungkapan ini menunjukkan bahwa keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Melalui otonomi daerah diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya dan diharapkan pemerintah pusat tidak terlalu aktif. Pemerintah daerah diharapkan mampu mengidentifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya dan mampu menetapkan belanja daerah secara wajar, efisien dan efektif (Aslym, 1999: 1).

Pada kenyataannya permasalahan yang dihadapi daerah sekarang adalah kondisi ekonomi yang berbeda antar daerah. Daerah yang kurang potensi ekonominya akan menghadapi kesulitan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Perbedaan ini akhirnya menimbulkan harapan yang besar terhadap subsidi dari pemerintah pusat sebagai salah satu sumber pembiayaan di daerah.

Untuk melaksanakan pembangunan diperlukan sumber pembiayaan yang sangat besar, terutama untuk investasi yang diharapkan berasal dari dana masyarakat. Di negara berkembang seperti Indonesia, pada umumnya dana investasi dari masyarakat masih sangat terbatas, sehingga diperlukan campur tangan pemerintah, terutama untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, kelistrikan, perhubungan dan lain-lain. Salah satu sumber dana pemerintah daerah yang terpenting dan potensial adalah Pendapatan Asli Daerah yang diharapkan terus meningkat.

Pendapatan Asli Daerah belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan daerah oleh karena, pertama, relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah apalagi dengan diterapkannya UU No. 18 tahun 1997, beberapa pajak atau retribusi yang ditetapkan untuk daerah memiliki basis pungutan yang relatif kecil. Kedua, peranannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah, karena sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari pusat. Ketiga, kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah, akibatnya pungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. Keempat, kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah sehingga mengakibatkan penerimaan daerah mengalami kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah (Mahl, 2000: 58-59).

Menurut Kuncoro (1995: 9), untuk sementara dari sisi pembiayaannya, pemerintah daerah masih dirasakan ketergantungannya kepada pemerintah pusat. Hal ini terlihat jelas dari rendahnya proporsi Pendapatan Asli Daerah terhadap total pendapatan daerah dibandingkan subsidi (grants) yang berasal dari pusat. Rendahnya proporsi Pendapatan Asli Daerah ini kurang dari 50 % kecuali untuk DKI, artinya lebih banyak subsidi dari pusat dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai pembangunan di daerah.

Insukindro dkk. (1994: 1) mengemukakan bahwa Pendapatan Asli Daerah dapat dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pemerintah pusat yang pada prinsipnya adalah semakin besar sumbangan Pendapatan Asli Daerah kepada APBD akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat. Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan keuangan daerah tersebuit adalah persentase Pendapatan Asli Daerah dibandingkan dengan seluruh penerimaan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (Fisipol UGM dan Litbang Depdagri, 1991: 14).

Untuk itu, upaya mobilisasi dana dari sumber daerah sendiri, khususnya yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah jelas sangat penting, mengingat masih besarnya tingkat ketergantungan keuangan daerah pada pusat di satu pihak, namun di pihak lain peranan Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah sangat besar (Alisjahbana, 1998: 45). Kemampuan daerah dalam mobilisasi Pendapatan Asli Daerah dapat diukur melalui, pertama, peranan Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai pengeluaran rutin atau kedua, perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah dengan PDRB masing-masing daerah. Besarnya perubahan Pendapatan Asli Daerah terhadap pengeluaran rutin daerah (dalam persen) sering disebut dengan Indek Kemampuan Rutin (Djojosubroto, 1992: 19). Menurut Santoso (1995: 20), meskipun Pendapatan Asli Daerah tidak seluruhnya dapat membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), proporsi Pendapatan Asli Daerah terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan daerah suatu pemerintah, sering juga disebut sebagai kemandirian fiskal.

Hirawan (1987: 94–95) telah menelaah mengenai keuangan daerah di Indonesia mengungkapkan beberapa permasalahan di bidang keuangan daerah yang dihadapi oleh pemerintah daerah selama ini yaitu :

1. ketergantungan pemerintah daerah pada subsidi pemerintah pusat yang tercermin dalam besarnya bantuan pemerintah pusat, baik dari sudut anggaran rutin yaitu subsidi daerah otonom, maupun dari sudut anggaran pembangunan daerah;

2. rendahnya kemampuan daerah untuk menggali potensi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah yang tercermin dari penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang relatif kecil (16,4 %) dibandingkan total penerimaan daerah;

3. kurangnya usaha dan kemampuan penerimaan daerah di dalam mengelola dan menggali sumber-sumber pendapatan yang ada;

4. kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi dan pungutan lainnya.

Tabel 1.1

Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi Seluruh Indonesia Menurut Jenis Penerimaan, 1995/1996 – 1998/1999 (dalam milyar rupiah)

No

Jenis Penerimaan

1995/1996

1996/1997

1997/1998

1998/1999

1

Sisa Lebih Anggaran Tahun Lalu

926

(8,19)

1.046

(8,34)

610

(4,75)

384

(4,28)

2

Pendapatan Asli Daerah

3.854

(34,07)

4.319

(34,43)

4.657

(36,25)

3.094

(34,49)

a. Pajak Daerah

3.037

(26,85)

3.390

(27,02)

3.718

(28,95)

2.528

(28,18)

b. Retribusi Daerah

541

(4,78)

661

(5,27)

2649

(5,05)

236

(2,64)

c. Laba BUMD

68

(0,60)

79

(0,63)

91

(0,71)

65

(0,72)

d. Penerimaan Dinas-dinas

42

(0,37)

32

(0,26)

43

(0,33)

20

(0,22)

e. Penerimaan Lain –

lain

166

(1,47)

157

(1,25)

156

(1,21)

245

(2,73)

3

Bagi hasil Pajak/bukan pajak

986

(8,72)

1.189

(9,48)

1.279

(9,96)

1.882

(20,98)

4

Sumbangan dan Bantuan

5.489

(48,52)

5.926

(47,24)

6.247

(48,63)

3.610

(40,25)

5

Penerimaan Pembangunan

58

(0,51)

63

(0,51)

53

(0,41)

0

(0,00)

Jumlah

11.313

(100,00)

12.543 (100,00)

12.846 (100,00)

8.970 (100,00)

Sumber : BPS Pusat, Statistik Keuangan Pemerintah Dati I, beberapa terbitan (diolah).

Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan kontribusi terhadap jumlah total (dalam persen)

Apabila dilihat dari realisasi penerimaan pemerintah daerah Provinsi seluruh Indonesia dari 1995/1996 – 1998/1999 (tabel 1.1 di atas), makin jelas terlihat bahwa besarnya bantuan/sumbangan dari pemerintah pusat didalam struktur penerimaan pemerintah daerah Provinsi di Indonesia masih dominan (40,25 % 48,63 %). Jika ini berlangsung terus, maka dinamika kehidupan ekonomi daerah akan tergantung pada pusat dan bukan pada kemampuan daerah itu sendiri untuk dapat mempertahankan aktivitas kegiatan perekonomiannya dan selanjutnya dapat tumbuh dengan kekuatan yang dimilikinya sendiri. Namun dengan berjalannya waktu masyarakat makin menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang diupayakan melalui berbagai program tidak dengan sendirinya dapat menyelesaikan permasalahan sosial ekonomi yang dihadapi tanpa partisipasi dan keikut sertaan seluruh elemen masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dipandang perlu untuk melihat berapa besar kemampuan keuangan daerah Provinsi Jambi dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah, khususnya ditinjau dari faktor atau sisi keuangannya. Dari beberapa penelitian yang dikemukakan terdapat perbedaan pada daerah penelitian, periode waktu penelitian, lokasi serta karakteristik sosial ekonomi dan sumber daya alamnya.

1.2 Keaslian Penelitian

Penelitian tentang Kemampuan Keuangan Daerah telah banyak dilakukan diantaranya oleh: Mardiasmo (2000) dalam penelitiannya tentang implikasi APBN dan APBD dalam konteks otonomi daerah mengemukakan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah akan mengakibatkan perubahan-perubahan mendasar berupa reformasi kelembagaan dan mekanisme pengelolaan keuangan daerah. Perubahan pada mekanisme pengelolaan keuangan daerah terletak pada perubahan porsi dan struktur, baik pada APBN maupun APBD yang disebabkan oleh dana perimbangan untuk membiayai pelaksanaan desentralisasi. Satu hal pokok yang harus diingat dalam upaya pencapaian keberhasilan otonomi daerah adalah bukan semata-mata pada usaha peningkatan Pendapatan Asli Daerah, akan tetapi lebih pada bagaimana pemerintah daerah dapat memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk menggunakan dana yang ada di pemerintah daerah, baik yang berasal dari dalam (Pendapatan Asli Daerah) maupun yang berasal dari luar (misalnya dana perimbangan).

Dickson dan Yu (2000) meneliti di sepuluh Provinsi di Kanada tentang struktur pendapatan melalui pajak yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah. Penelitian ini menemukan bahwa sumber pendapatan dari pajak dapat melebihi sumber pendapatan utama lainnya (seperti pinjaman atau dana). Dalam memperkirakan tarif pajak perlu memperhatikan struktur pendapatan, karena di lain pihak para pembayar pajak benar-benar menyadari bahwa pajak merupakan biaya. Lebih lanjut ditemukan bahwa struktur pendapatan mempengaruhi pengeluaran.

Arifin (2000) dalam penelitiannya tentang kemampuan dan kesiapan daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab mengemukakan bahwa kemampuan daerah dipergunakan sebagai dasar untuk mengukur dan menentukan besarnya wewenang yang akan diserahkan kepada kabupaten/kota dalam mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan masih banyak menghadapi kendala, antara lain : jenis-jenis pajak dan retribusi daerah sudah ditetapkan secara limitatif, sehingga menyulitkan daerah untuk berkreasi dalam menggali sumber keuangan sendiri. Pengembangan BUMD berhadapan dengan keterbatasan modal, campur tangan birokrat yang berlebihan, status badan hukum yang tidak jelas dan minimnya sumber daya manusia yang profesional. Untuk pendapatan lain-lain, masih belum adanya mekanisme dan prosedur baku dalam penyalurannya, sehingga sering terjadi kelambatan yang mengakibatkan terganggunya likuiditas keuangan daerah.

Makhfatih (2000) meneliti tentang kemampuan Daerah Tingkat II menghadapi UU Nomor 25 Tahun 1999 dengan studi kasus Jawa Tengah dan Banyumas menunjukkan bahwa dengan simulasi terjadi penurunan penerimaan untuk Provinsi Jawa Tengah, sehingga dengan tidak adanya bantuan dari pemerintah pusat, Jawa Tengah sangat kesulitan atau dengan kata lain Jawa Tengah sangat mengandalkan dari adanya Dana alokasi Umum. Sementara Kabupaten Banyumas menunjukkan adanya peningkatan jumlah penerimaan daerah walau selisihnya tidak terlalu besar.

Sriyana (1999) meneliti sistem hubungan pusat – daerah, reformasi perpajakan dan kemandirian pembiayan pembangunan daerah menyatakan bahwa, sistem hubungan pusat – daerah di Indonesia menunjukkan adanya sentralisasi yang cukup besar pada pemerintah pusat dan peran pemerintah daerah perlu ditingkatkan mengingat bahwa pembangunan daerah merupakan inti dari pembangunan nasional atau dalam bahasa yang lebih mudah dipahami adalah adanya pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada pemerintah daerah dengan tetap berpegang pada konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Reformasi perpajakan memberikan dampak penghapusan beberapa komponen pendapatan daerah, namun juga memberikan wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk menetapkan penerimaan daerah

Kim (1997) yang mengadakan penelitian tentang peran sektor publik lokal dalam pertumbuhan ekonomi regional di Korea menyimpulkan bahwa peran pemerintah daerah di dalam pertumbuhan ekonomi regional adalah signifikan. Pendapatan pajak dan non pajak daerah memiliki pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi regional, sementara investasi dan konsumsi pemerintah daerah memiliki pengaruh positif dan signifikan. Salah satu implikasi kebijakan yang penting adalah bahwa peran pemerintah daerah harus lebih ditingkatkan melalui pemberlakuan otonomi, lebih khusus lagi bahwa pemerintah pusat harus lebih banyak mentransfer sumber pendapatan pada level-level pemerintah yang lebih rendah.

Miller dan Russek (1997) melakukan penelitian mengenai pengaruh struktur penerimaan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi pusat dan daerah di negara-negara bagian Amerika dengan menggunakan alat analisis OLS random efek model, menyimpulkan bahwa, pertama, peningkatan surplus anggaran akan mendorong pertumbuhan ekonomi bila pengeluaran untuk pendidikan atau transportasi publik dapat ditekan atau corporate income tax dapat ditingkatkan. Kedua, apabila sales tax dan pajak lainnya digunakan untuk transfer payment, maka pertumbuhan ekonomi akan menurun, tapi bila corporate income tax digunakan untuk transfer payment maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Ketiga, pajak akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi apabila penerimaan negara digunakan untuk biaya pendidikan.

Nazara (1997) meneliti tentang struktur penerimaan daerah tingkat provinsi di Indonesia menyatakan bahwa hanya 38,88 % penerimaan provinsi di Indonesia yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah Sendiri, sehingga menimbulkan ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat yang sangat tinggi. Hal ini membuktikan bahwa peranan pemerintah pusat dalam struktur keuangan Pemerintah Daerah Tingkat I/Provinsi di Indonesia masih dominan.

Koncoro (1995) meneliti tentang desentralisasi fiskal menyimpulkan bahwa kebijakan fiskal yang sentralistis, memang telah mengakibatkan pembangunan fisik yang cukup pesat, tetapi di sisi lain ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat juga semakin besar. Ketergantungan daerah yang tinggi terhadap pusat mengakibatkan kontrol yang ketat oleh pusat kepada daerah. Intervensi pusat dalam berbagai kebijakan pengelolaan keuangan daerah dan pembangunan telah membatasi pemberdayaan masyarakat, prakarsa, kreativitas dan peran serta masyarakat. Kemampuan daerah untuk membiayai dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan amanat undang-undang sangat terbatasi. Ketergantungan fiskal terlihat dari relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah dan dominannya transfer dari pusat. Hal ini disebabkan karena kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah, tingginya tingkat sentralitas dalam perpajakan. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan. Selain itu adanya kekhawatiran dari pusat dari aspek politik, yaitu apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi, maka ada kecenderungan terjadi disintegrasi dan separatisme.

Penelitian ini merupakan replikasi dan konstruksi pemikiran yang terdapat pada penelitian-penelitian tersebut sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada daerah penelitian, periode waktu penelitian, lokasi serta karakteristik sosial ekonomi dan sumber daya alamnya.

No comments: