Kami memberi bantuan dengan menyediakan bahan-bahan tesis gratis yang berguna untuk menambah referensi anda dalam penyusunan tesis. Tesis yang kami sediakan yaitu mengenai masalah pemerintahan, pembangunan daerah, kemasyarakatan, serta managemen

Cara bertranksaksi :

1. SMS, judul yang anda pilih pada Daftar Judul Tesis dan alamat email anda untuk pengiriman file

2. kirim/transfer biaya tesis (Rp. 120.000,-*) ke :

3. SMS lagi bahwa anda telah melakukan transfer

4. kemudian kami cek ke rekening dan segera mengirimkan email berisi tesis pesanan anda


Harganya sama halnya bila anda mencopynya dalam bentuk kertas di perpustakaan, tapi kelebihannya kami menyediakan dalam bentuk file word dan pdf, sehingga mempermudah anda dalam membaca di komputer atau di laptop.

Terima kasih telah menjadikan tesis tersebut sebagai bahan referensi bukan sebagai bahan jiplakan. kami tidak mendukung plagiat, bahan tersebut disediakan sebagai referensi dalam penulisan tugas akhir, bila anda merasa keberatan karyanya kami tampilkan dan menjadi bahan referensi bagi para peneliti lainnya, bisa kami hapus dari daftar ini, silahkan hubungi ke alamat email

*biaya tsb hanya sebagai pengganti biaya maintenance weblog, pencarian bahan, operasional pulsa dan connecting internet

Sunday, February 17, 2008

PENGARUH KEBIJAKAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI PERANGKAT DAERAH TERHADAP KINERJA APARATUR

1.1. Latar Belakang Penelitian

Sistem pemerintahan di Indonesia telah mengalami perubahan paradigma yang sangat signifikan sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahuin 1999 tentang Pemerintah Daerah, atau yang lazim dikenal dengan Undang-undang Otonomi Daerah. Perubahan paradigma pemerintahan ini sesungguhnya adalah langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam menyikapi tuntutan masyarakat sejak digulirkannya reformasi.

Perubahan paradigma sistem pemerintahan Indonesia ditafsirkan oleh Sarundajang (2000), sebagai sebuah arus balik kekuasaan pusat ke daerah. Dimana arus balik kekuasaan ini mengartikan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam rangka persatuan.

Pemberlakuan Undang-undang Otonomi Daerah, merupakan salah satu bentuk pelaksanaan tuntutan reformasi yang telah dikumandangkan sejak tahun 1998. Menurut Sarundajang, reformasi di Indonesia merupakan tindakan perubahan atau pembaruan yang berdimensi restrukturisasi, revitalisasi, dan refungsionalisasi. Selanjutnya diungkapkan bahwa restrukturisasi adalah tindakan untuk merubah struktur yang dipandang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman dan dianggap tidak efektif lagi dalam memajukan organisasi.

Revitalisasi merupakan upaya untuk memberi tambahan energi atau daya kepada organisasi atau lembaga agar dapat mengoptimalkan kinerja orgnaisasi. Karena itu, revitalisasi akan berkaitan dengan perumusan kembli uraian tugas, penambahan kewenangan kepada unit-unitr strategis, peningkatan alokasi anggaran, penambahan atau penggantian berbagai instrument pendukung dalam menjalankan tugas-tugas organisasi. Sedangkan refungsionalisasi lebih berkaitan dengan tindakan atau upaya untuk memfungsikan kembali sesuatu yang sebelumnya tidak berfungsi.

Dengan demikian, reformasi pemerintah daerah akan mengarah pada tiga dimensi reformasi tersebut. Sarundajang (2001 :123)

Reformasi pemerintah daerah itu sendiri dalam pandangan Sarundajang, diperlukan karena beberapa alasan penting, antara lain adalah : Pertama,karena struktur organisaisi dan administrasi pemerintah daerah yang ada saat ini dipandang tidak lagi efektif dalam mengemban misinya, terutama jika dikaitkan dengan perkembangan kehidupan masyarakat, dan tuntutan globalisasi. Kedua, karena dalam kenyataan sensitifitas pemerintah daerah dalam mencermati perkembangan keadaan sudah mulai lemah dan hal ini diperparah dengan rendahnya kinerja aparatur pemerintah daerah. Ketiga, image masyarakat tentang organisasi pemerintah, termasuk pemerintah daerah sudah semakin jelek yang menyebabkan terjadinya berbagai tuntutan terhadap perubahan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Sarundajang (2001 : 123)

Reformasi birokrasi baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah merupakan kebutuhan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Ini pada dasarnya bertujuan untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih efektif kepada masyarakat. Baik buruknya pelayanan yang diberikan pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai institusi publik yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan publik. Ini menunjukkan bahwa kinerja organisasi pemerintahan dengan segala perangkat teknisnya harus lebih diarahkan pada fungsi pokok melayani masyarakat sebagai hal yang utama sebagaimana tersirat dalam semangat desentralisasi.

Dalam melakukan reformasi termasuk menjalankan sejumlah kewenangan yang dimilikinya, pemerintah di daerah membutuhkan perangkat organisasi yang dibentuk berdasarkan karakteristik dan kebutuhan.

Hal ini dikemukakan oleh Wasistiono (2003 : 11) bahwa untuk menjalankan kewenangan yang dimiliki Pemerintah Daerah, diperlukan suatu organisasi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pada era desentralisasi sekarang ini, Pemerintah Daerah diberi kebebasan yang luas untuk menyusun organisasinya sendiri. Sehubungan dengan itu, maka dalam rangka pelaksanaan ketentuan pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. yang dalam pelaksanaannya diterjemahkan terlalu luas dan bervariasi oleh daerah-daerah, sehingga mengakibatkan terjadi pembengkakan dalam pembentukan organisasi perangkat daerah di masing-masing daerah yang justru tidak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah itu sendiri. Hal ini diperkuat oleh hasil evaluasi kelembagaan yang dilakukan oleh Tim Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Departemen Dalam Negeri, ditemukan fakta adanya kecenderungan untuk membentuk organisasi perangkat daerah yang terlalu besar dan kurang didasarkan pada kebutuhan nyata daerah yang bersangkutan. Berbagai pertimbangan yang digunakan dalam pengambilan keputusan dalam penataan kelembagaan seringkali cenderung lebih bernuansa politik dari pada pertimbangan rasional obyektif, efisiensi dan efektivitas. Oleh karena itu, pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 dipandang tidak sesuai dengan keadaan dan perkembangan penataan pemerintah daerah sehingga perlu disempurnakan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.

Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 diharapkan penyusunan kelembagaan/organisasi perangkat daerah di masing-masing daerah senantiasa mempertimbangkan kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh daerah, karakteristik, potensi, kebutuhan daerah, kemampuan keuangan daerah, ketersediaan sumber daya aparatur dan pengembangan pola kemitraan antar daerah serta pihak ketiga.

Penyesuaian dari Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 ke Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 berdampak sangat signifikan pada perubahan susunan organisasi serta ragam struktur organisasi perangkat daerah pada daerah-daerah otonom di Indonesia.

Dalam tataran ideal, seluruh aturan formal yang mendasari pelaksanaan sistem desentralisasi serta penyusunan organisasi perangkat daerah telah memberikan ruang yang cukup bagi pemerintah daerah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis untuk menjembatani aspirasi dan keinginan publik di daerah masing-masing dalam format pelayanan dengan menyusun organisasi perangkat daerah yang miskin struktur namun kaya fungsi. Bahwa dalam tataran praktis, penerapan aturan-aturan dasar ini di beberapa daerah mengalami sejumlah kendala yang cukup berarti.

Salah satu kendala yang dihadapi adalah ketidaksiapan sejumlah daerah dalam menata dan menyusun kembali struktur organisasi perangkat daerah yang disesuaikan dengan tuntutan perubahan serta perangkat daerah yang disesuaikan dengan aturan yang telah dikeluarkan. Hal ini disebabkan oleh lambannya respon aparatur pemerintah daerah terhadap perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintah di daerah, termasuk batasan-batasan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 yang dianggap memberikan ruang yang sangat terbatas kepada daerah untuk membentuk organisasi perangkat daerahnya bila dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000.

Hal ini dapat terlihat pada penjelasan pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 bahwa Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah didasarkan pada kriteria penataan Organisasi Perangkat Daerah. Dengan kriteria sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003, telah ditentukan kriteria yang didasarkan pada faktor umum dan faktor teknis yang memuat indikator, skala nilai, bobot dan skor yang harus dipenuhi oleh suatau daerah dalam menyusun Organisasi Perangkat Daerahnya.

Apabila dicermati, paling tidak indikator, skala nilai bobot dan skor yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 ini menggunakan standar daerah-daerah di Pulau Jawa, sehingga sangat sulit bagi daerah-daerah di luar Jawa yang memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif kecil untuk mencapai standar tersebut. Oleh karena itu, dalam menempatkan dan menjelaskan pedoman dasar yang telah ditetapkan ini, Pemerintah Daerah cenderung dilematis, terutama dalam melakukan restrukturisasi/perampingan organisasi perangkat daerahnya. Disatu sisi, Pemda diperhadapkan dengan keharusan menjalankan peraturan yang telah diundangkan untuk melakukan restrukturisasi organisasi perangkat daerahnya untuk memenuhi standar indikator, skala nilai, bobot dan skor yang telah ditetapkan. Sementara disisi lain, Pemda juga juga diperhadapkan pada kemungkinan terjadinya gejolak yang akan timbul dikalangan aparatur dalam unit-unit organisasi yang lama sebagai konsekwensi dari proses restrukturisasi. Selain itu, Pemda dituntut pula harus memenuhi kebutuhan daerah termasuk menginventarisir dan mengidentifikasi sumber daya aparatur yang dimiliki untuk didistribusikan ke unit-unit organisasi yang telah disesuaikan. Sehingga adanya pasal yang bertentangan dengan Undang-Undang, misalnya mengenai pengelolaan sumber daya aparatur oleh unsur Sekretariat Daerah padahal pada Pasal 34a Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 telah diisyaratkan dibentuknya Badan Kepagawaian Daerah.

Secara umum, dalam melakukan kebijakan restrukturisasi, pola inventarisasi dan identifikasi kebutuhan dan kemampuan daerah termasuk kemampuan dan kesiapan aparatur yang diterapkan di daerah cenderung masih keliru, sehingga pada gilirannya mengakibatkan sejumlah daerah dalam menerapkan kebijakan ini tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan daerah serta kebutuhan masyarakatnya.

Kekeliruan ini mempengaruhi proses penempatan aparatur yang tidak sesuai dengan spesifikasi keahlian di bidangnya yang pada akhirnya berdampak pada kualitas kinerja penyelenggara pemerintahan daerah dalam melayni kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan secara umum. Kondisi ini, menurut pengamatan awal penulis juga terjadi pada Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah, Propinsi Maluku Utara.

Kesalahan dalam melakukan inventarisasi dan identifikasi kebutuhan, kemampuan daerah serta keahlian aparatur, menurut pengamatan penulis di lapangan mempengaruhi pola pembentukan dan penyusunan struktur organisasi Sekretariat Daerah sebagai suatu perangkat daerah di Kabupaten Halmahera Tengah. Hakekat pelaksanaan kebijakan restrukturisasi yang semula dimaksudkan untuk mengoptimalkan kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pada kenyatannya justru cenderung terfokus pada kebutuhan distribusi jabatan dimana keputusan distribusi jabatan inipun lebih banyak dipengaruhi oleh like and dislike tanpa mempertimbangkan latar belakang pendidikan, serta spesifikasi keahlian aparat yang diberikan jabatannya.

Penurunan kinerja aparatur dalam suatu organisasi umumnya dipengaruhi oleh pola penempatan orang-orang yang tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Berkaitan dengan hal ini, Sitanggang (1997 : 139) mengemukakan bahwa orang-orang yang mempunyai keahlian spesialisasi adalah tenaga yang langka dan sangat diperlukan, tetapi bila ditempatkan pada lingkungan atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya maka hasil yang didapat dari tenaga tersebut sebenarnya tidak menguntungkan. Selain ketepatan penataan keahlian menurut bidang, juga perlu keserasian penempatan keahlian menurut tingkatnya.

Pentingnya restrukturisasi organisasi perangkat daerah sejalan dengan kemampuan sumber daya aparatur. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang dimiliki oleh aparatur Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah sebagai berikut :

TABEL 1.1

JUMLAH PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

KABUPATEN HALMAHERA TENGAH

MENURUT TINGKAT PENDIDIKAN

No.

Instansi

Jumlah

Pegawai

Tingkat Pendidikan

SD

SLTP

SLTA

DIPLOMA

S1

S2

S3

1.

SETDA

195

4

2

114

29

43

3

-

2.

DINAS

644

5

10

384

74

161

10

-

3.

LEMBAGA

TEKNIS

206

5

3

113

11

71

3

-

JUMLAH

1.045

14

15

611

114

275

16

-

Sumber : Bagian Kepegawaian Setda Kab. Halmahera Tengah, 2004

Sebagai respon terhadap perubahan PP Nomor 84 Tahun 2000 menjadi PP Nomor 8 Tahun 2003, Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah kemudian melakukan perubahan atas Perda Nomor 19 Tahun 2001 dengan Perda Nomor 01 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah yang menjadi landasan hukum pembentukan struktur organisasi di lingkungan Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah. Berdasarkan Perda Nomor 19 Tahun 2001 susunan struktur organisasi pada Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah terdiri atas 2 Assda, 8 Bagian, 27 Subag. Kemudian berdasarkan perubahan ini, struktur organisasi pada Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah menjadi 3 Assda, 9 Bagian, 27 Subag.

TABEL 1.2

PERBANDINGAN SUSUNAN STRUKTUR ORGANISASI

PERANGKAT DAERAHPADA SEKRETARIAT DAERAH

KABUPATEN HALMAHERA TENGAH

DARI PP. 84 TAHUN 2000 KE PP. 8 TAHUN 2003

No.

Perangkat Daerah

Sebelum Restrukturisasi PP 84 / 2000

Sesudah Restrukturisasi PP 8 / 2003



1

Sekretariat Daerah

a. Assisten Daerah

b. Bagian

c. Subag.

2 Assda

8 Bagian

27 Subag

3 Assda

9 Bagian

27 Subag


Sumber : Bagian Organisasi Setda Halteng

Kenyataan menunjukkan bahwa belum optimalnya kinerja organisasi perangkat daerah dalam mnyelenggarakan tugas dan tanggung jawabnya terkait dengan banyak faktor diantaranya adalah; latar belakang pendidikan, pemahaman tentang tugas dan tanggung jawab, masih rendahnya gaji, penempatan pegawai, dan kebijakan restrukturisasi organisasi. Namun dalam pengamatan awal penulis, salah satu fakor yang sangat dominan yang menyebabkan belum optimalnya kinerja aparatur di lingkungan Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah dalam penerapan semangat desentralisasi adalah sebagai akibat kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerahnya.

Selain itu, faktor kemampuan kondisi keuangan yang kurang baik, pembengkakan organisasi yang tidak efektif dan efisien sehingga menimbulkan kualitas pelayanan kepada masyarakat rendah. Kemampuan keuangan daerah dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

TABEL 1.3

RANCANGAN DAN REALISASI APBD

KABUPATEN HALMAHERA TENGAH

(Khusus pada Sekretariat Daerah Kantor Bupati Halmahera Tengah)

TAHUN 2001 s/d 2003

No.

Tahun

Rancangan

Realisasi

1.

2001

1.623.252.000

1.495.253.832

2.

2002

29.188.084.000

23.465.789.896

3.

2003

68.144.964.000

60.968.884.873

Sumber : Bagian Keuangan Setda Kabupaten Halmahera Tengah, 2003

Berbagai aspek dalam struktur, yang dalam pengamatan awal penulis nampak turut mempengaruhi kinerja organisasi di lingkungan Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah antara lain adalah masih lemahnya formalisasi baik menyangkut tugas, mekanisme kerja maupun output yang harus dijalankan setiap unit ataupun individu dalam organisasi. Aspek lainnya juga berdampak pada melebarnya rentang kendali (span of control) yang menimbulkan masalah “inkoherensi institusional”, karena fungsi yang seharusnya ditangani oleh satu kesatuan unit harus diderivasi ke beberapa unit organisasi, sehingga pada akhirnya mengarah pada proliferasi birokrasi. Di samping itu, kenyataannya masih tersentralisasi pola pengambilan keputusan pada unit-unit tertentu dalam organisasi yang membuat struktur organisasi yang ada kurang mampu menciptakan kondisi kerja yang kondusif dan konstruktif sehingga mempengaruhi kinerja aparatur di lingkungan Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah.

Atas dasar latar belakang sebagaimana diungkapkan sebelumnya, maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian mengenai Pengaruh Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah terhadap Kinerja Aparatur Di Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah.

1.2. Permasalahan

1.2.1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pengamatan awal penulis di lapangan, dapat diidentifikasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah pada Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah pada umumnya sebagai berikut :

1. Susunan Struktur Organisasi Pemerintahan Kabupaten Halmahera Tengah masih menganut pola sentralistik.

2. Dalam penataan kelembagaan lebih bernuansa politik dari pada pertimbangan rasional, obyektif, efisiensi dan efektivitas.

3. Dalam kebijakan restrukturisasi, masih terdapat kelemahan yang dipengaruhi oleh kesalahan dalam melakukan inventarisasi dan identifikasi kebutuhan unit-unit organisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi dan masyarakat.

4. Dalam penyusunan struktur organisasi terdapat kesamaan dalam pembagian fungsi dan tugas pada beberapa unit organisasi di lingkungan Sekretariat Daerah Kabupaten Halmehara Tengah.

5. Penempatan aparatur belum memperhatikan konsep the right man on the right place.

1.2.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah penelitian maka masalah utama yang akan dinalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagi berikut :

1. Seberapa besar pengaruh kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah terhadap kinerja apartur ?

2. Bagaimana dampak besarnya pengaruh kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah terhadap kinerja aparatur ?

1.2.3. Pembatasan Masalah

Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam pembahasan nanti, penelitian ini hanya dibatasi pada pengaruh kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah terhadap kinerja aparatur di lingkungan Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dampak besarnya pengaruh kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah terhadap kinerja aparatur.

1.3.2. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah terhadap kinerja aparatur.

2. Untuk mengetahui bagaimana dampak besarnya pengaruh kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah terhadap kinerja aparatur.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memperoleh kajian teoritis ilmiah yang lebih mendalam sehingga dapat dijadikan acuan konseptual ilmiah bagi perbaikan dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan restrukturisasi organisasi perangkat daerah serta dapat memberikan kontribusi bagi eksistensi perkembangan Ilmu Pemerintahan Daerah.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan dan sumbangan pemikiran, khususnya bagi Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah, dalam upaya memecahkan masalah yang berkaitan dengan kinerja aparatur pemerintah daerah, berkenaan dengan kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah pada masa yang akan datang

No comments: